Opini  

Sekolah Rakyat Kok Malah Menghadirkan Kesenjangan?

Avatar photo
Gambar ilustrasi dibuat oleh AI

“Hana cara tanyo dipeuduk lam gudang (gedung lama), awak nyan yang numpang dipeuduk bak hotel. Hana cara, tanyo ka lage jame bak rumoh dro.”

Mungkin demikianlah gumaman getir sebagian siswa/i, guru atau staf sekolah reguler yang melihat pemandangan kontras antara fasilitas yang mereka kelola dengan Sekolah Rakyat (SR) yang kini “menumpang” di lingkungan yang sama.

Program Sekolah Rakyat (SR) pada dasarnya dihadirkan dengan tujuan yang sangat mulia yakni membuka akses pendidikan gratis dan berkualitas bagi masyarakat yang kurang beruntung (miskin dan sangat miskin) atau sering disebut dengan kaum marjinal. Namun persoalannya menjadi berbeda ketika program nulia tersebut dijalankan di lingkungan yang sama dengan sekolah Boarding reguler yang fasilitas dan layanannya berbeda dengan SR yang full gratis.

Artinya, program SR juga tak luput dari persoalan teknis dan sosial ketika pelaksanaannya tidak dirancang dengan struktur kelembagaan yang matang. Salah satu potensi bom waktu itu sedang berdenyut pelan di SMA Unggul Ali Hasjmy Aceh Besar sekolah boarding reguler yang kini berbagi atap dengan SR.

Perbedaan Layanan Gratis vs Berbayar

Sesuai dengan sistem awal yang direncanakan dan melatari lahirnya SR yaitu memberikan layanan pendidikan yang gratis dan berkualitas untuk masyarakat golongan tertentu, siswa/i SR menikmati layanan pendidikan gratis secara penuh baik dari segi kebutuhan seragam, buku, dan berbagai kebutuhan lainnya bahkan termasuk konsumsi.

Sementara itu, di sisi lain siswa SMA reguler yang juga eksis di lingkungan yang sama tetap diwajibkan membayar sejumlah biaya untuk konsumsi dan berbagai kebutuhan lainnya selama proses pendidikan berlangsungnya pendidikan. Pada dasarnya ketimpangan “layanan” ini adalah sebuah keniscayaan karena memang sistemnya dirancang berbeda. Namun, ketika mereka berada di lingkungan yang sama dalam jangka waktu yang lama tentu ketimpangan ini berpotensi menciptakan kecemburuan sosial dan juga kesenjangan persepsi, khususnya dari kalangan orang tua siswa reguler yang sebagian dari mereka ada juga dari golongan yang sedang mengalami persoalan ekonomi. Sehingga, mereka merasa dibebani secara finansial yang bertolak belakang dengan mereka yang mendapatkan layanan SR.

Artinya, ketika dua sistem layanan dengan realitas ekonomi dan sosial berbeda disatukan tanpa sekat yang jelas, bukan kolaborasi yang tumbuh, tapi kecemburuan. Yang satu dianggap “difasilitasi penuh”, yang lain merasa “diperas pelan-pelan”. Ketimpangan ini adalah bom waktu yang tidak bisa disangkal.

Kesenjangan Fasilitas, Gedung Baru untuk yang Numpang, Asrama Reyot untuk yang Lama

Persoalan lain yang berpotensi memicu kecemburuan sosial yaitu terkait fasilitas pendidikan, di mana fasilitas SR justru tampak lebih baru dan layak setelah dilakukan rehabilitasi secara besar-besaran sebelum tahun ajaran baru dimulai beberapa waktu lalu.

Ironisnya, fasilitas asrama dan pendukung untuk siswa di sekolah reguler seringkali tidak nyaman, bahkan belum mengalami perbaikan bertahun-tahun. Ini tentu berpotensi menimbulkan persepsi bahwa negara atau penyelenggara lebih “memanjakan” program SR ketimbang memperhatikan sekolah reguler yang lebih dulu ada.

Lalu siapa yang sesungguhnya “pemilik rumah”? Bagaimana mungkin sekolah reguler yang sudah eksis sebelumnya justru menjadi “penumpang” dalam rumahnya sendiri? Realitas semacam ini bisa menumbuhkan perasaan terpinggirkan, bisa saja dinilai sebagai bentuk ketidakadilan struktural yang mencolok.

Mungkin situasi ini tidak akan terjadi jika Fasilitas yang sudah direhab oleh pemerintah masih bisa diakses bersama oleh siswa yang berada di bawah naungan sekolah dasar dalam konteks ini siswa SMA Negeri 2 Unggul Ali Hasjmy dan juga oleh siswa/i SR, hal ini mengingat SR dihadirkan di lingkungan yang sama dan menggunakan gedung yang pada dasarnya adalah milik SMA Negeri 2 Unggul Ali Hasjmy.

Kesenjangan SDM dan Gaji Personalia

Perbedaan layanan juga terlihat pada nasib tenaga pendidik dan kependidikan. Para pengelola dan staf SR dilaporkan mendapatkan honorarium cukup layak, sebagian bahkan melampaui standar UMP Sementara itu, guru atau staf di sekolah reguler masih banyak yang menerima honor di bawah standar kelayakan, bahkan sering mengalami keterlambatan pencairan insentif. Hal ini tentu berpotensi memicu friksi internal yang dapat mengganggu stabilitas manajemen sekolah.

Bayangkan saja tenaga kebersihan dan staf TU atau bahkan guru non ASN di SMA Ali Hasjmy mereka hanya mendapatkan honorium yang jauh di bawah standar UMP tapi mereka bekerja di lingkungan yang sama dengan tenaga atau personalia yang bekerja di bawah naungan SR yang mendapatkan honorium yang lumayan mensejahterakan.

Gesekan Sosial Antarsiswa

Potensi konflik lainnya yang bahkan jauh lebih buruk adalah friksi atau konflik antar siswa/i SR dengan siswa/i SMA Unggul Ali Hasjmy. Persinggungan ruang dan aktivitas antarsiswa SR dan siswa reguler bisa saja memicu potensi kecemburuan sosial, yang bukan tidak mungkin berujung pada konflik verbal bahkan fisik.

Perbedaan latar belakang, gaya hidup, bahkan pola interaksi dapat membuka ruang untuk perundungan (bullying), segregasi sosial, hingga stereotip negatif yang tumbuh tanpa kontrol. Untuk mengatasi hal Ini tentu butuh perhatian khusus, Disdik, Dinsos dan berbagai pihak terkait lainnya seharusnya berfikir lebih matang sebelum memutuskan adanya dua lembaga dengan sistem layanan dan karakteristik yang berbeda dijalankan di lingkungan yang sama.

Potensi Konflik Kepentingan Lainnya

Mungkin lainnya yang juga berpotensi menimbulkan persoalan yaitu Overlaping Kewenangan. Kehadiran dua struktur manajemen dalam satu lingkungan yakni manajemen SR dan manajemen sekolah reguler berpotensi menyebabkan tumpang tindih wewenang dalam penggunaan fasilitas, jadwal penggunaan fasilitas olahraga dan lain sebagainya bahkan juga potensi saling lempar tanggung jawab terkait pemeliharaan fasilitas yang digunakan bersama.

Artinya langkah menyatukan dua institusi dengan sistem manajerial berbeda di satu ruang fisik tanpa peta otoritas yang jelas adalah resep awal menuju bencana. Jadwal penggunaan aula, fasilitas olahraga, hingga siapa yang bertanggung jawab atas kerusakan fasilitas bisa menjadi konflik harian yang melelahkan.

Politisasi Program Sekolah Rakyat

SR kerap bahkan dari awal kelahirannya sudah dibungkus dengan citra “solusi inovatif pemerintah”, namun bisa saja digunakan sebagai instrumen pencitraan atau proyek politis yang menumpang pada fasilitas negara oleh mereka yang berkepentingan, tanpa perhitungan keberlanjutan jangka panjang tentu situasi ini akan berbalik di lima atau tujuh tahun mendatang ketika rezim berganti.

Hal ini mengingat kelaziman dari sistem pemerintahan kita pasti punya program prioritas sendiri, sementara program SR ini membutuhkan anggaran operasional yang sangat besar yang bisa saja tidak lagi menjadi perhatian untuk rezim selanjutnya yang sudah barang pasti ingin membangun legacy nya sendiri.

Penyelewengan Akses dan Sumber Daya

Potensi masalah lainnya yaitu terkait peluang penyalahgunaan anggaran yang bisa saja muncul, apalagi jika penggunaannya tidak diikuti dengan pertanggungjawaban yang transparan dan tak diawasi ketat oleh otoritas pendidikan daerah, katakanlah soal penyediaan konsumsi, pengadaan fasilitas siswa seperti seragam dan lainnya, tentu tanpa tranparansi anggaran yang begitu besar tersebut sangat berpeluang menjadi lahan korupsi baru di masa depan.

Pemanfaatan Nama Besar Sekolah Reguler

Dalam kasus SR yang menumpang di sekolah unggulan tanpa koordinasi yang sehat, namun justru menggunakan “nama baik” sekolah tersebut untuk menaikkan pamor program atau menarik minat siswa/i “hanya” untuk keuntungan sepihak tentu dalam jangka panjang bisa merusak citra institusi utama, atau sebaliknya jika sekolah atau intitusi lama memiliki persoalan internal buka  tidak mungkin akan mempengaruhi atau berefek pada SR yang dijalankan di lingkungan yang sama.

Sekolah Rakyat pada dasarnya bukan masalah, tetapi pengelolaan dan tata kelola “numpang” yang tidak adil dan tidak setara itulah yang berpotensi menjadi akar konflik berkepanjangan yang tidak diinginkan oleh siapapun. Jika pemerintah atau penyelenggara ingin mempertahankan model ini maka harus ada pengawasan dan evaluasi rutin dan berkelanjutan terhadap sistem relasi antara SR dan sekolah reguler, termasuk peninjauan ulang distribusi anggaran dan fasilitas, Pemisahan manajerial dan operasional, Perlindungan sosial terhadap siswa reguler dan juga SR serta Penyesuaian kebijakan terkait SDM yang harus memberikan keadilan dan sebisa mungkin mencegah kecemburuan sosial yang berakibat pada konflik yang tidak kita inginkan.

Artinya, jika tidak ditata dan dikelola dengan baik dan bijaksana program mulia ini justru akan menjadi sumber konflik. Alih-alih memperbaiki, kondisi yang ada malah memperburuk dunia pendidikan.[]

Ramadhan Al Faruq adalah alumni UIN Ar Raniry dan Sekjen Kaukus Peduli Integritas Pendidikan Aceh

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *