Opini  

Apakah Artikel Opini Itu Karya Jurnalistik?

Ilustrasi jurnalis (foto: Dreamstimes)

DI ALAM penuh kebebasan, sekarang, siapa saja bisa menjadi wartawan. Kelonggaran regulasi yang diuntungkan oleh kemudahan teknologi informasi, bahkan, membuka peluang bagi siapa saja untuk menjadi pemilik media.

Kita bisa menyaksikan begitu suburnya media massa dengan platform digital bermunculan dimana-mana. Siapa saja, bahkan, tanpa latar belakang jurnalistik sedikit pun, dengan mudahnya membangun (membuat akte) sebuah perusahaan pers.

Jika perkembangan itu memberi efek positif terhadap kehidupan pers, terutama menyangkut penyerapan tenaga kerja atau memperkuat fungsi pers, tentu sangat baik. Harus disambut positif.

Tapi, kecenderungan yang terjadi justeru sebaliknya. Banyak oknum dengan beragam latar belakang memanfaatkan celah tersebut untuk kepentingan pragmatisme sempit, seperti untuk memeras atau hal-hal negatif lainnya.

Salah satu efek yang dirasakan publik dari penyalahgunaan profesi yang biasa disebut pilar keempat demokrasi ini adalah munculnya wartawan bodrex. Istilah ini mengacu pada nama obat sakit kepala.

Jika bodrex sesungguhnya berfungsi menyembuhkan sakit kepala, wartawan bodrex justeru sebaliknya. Mereka menjadi penyebab sakit kepala bagi pejabat dan anggota masyarakat lainnya.

Pengetahuan yang minim karena menjadi wartawan dadakan membuat seorang wartawan bodrex tidak memahami substansi tugas jurnalisme. Di kepala mereka, secara kebanyakan, adalah amplop dan berbagai kecenderungan negatif.

Mereka juga tidak mampu membedakan hal-hal yang bersifat mendasar lainnya, seperti perbedaan antara karya jurnalistik dengan artikel opini bebas. Karena tidak dibekali pengetahuan, mereka juga sering melakukan kesalahan yang fatal ketika menulis “berita”, misalnya, tidak mengikuti kode etik jurnalistik.

Celakanya, keberadaan mereka bertambah aman setelah mengantongi sertifikat kompetensi yang dikeluarkan Dewan Pers. Di sini muncul masalah baru, karena kartu tersebut sekarang cenderung “dikeramatkan” oleh sebagian wartawan dan oknum pejabat.

Pihak tertentu, bahkan, membuat kesimpulan buru-buru dengan menjadikan sertifikat kompetensi sebagai sebuah legalitas tanpa melihat lagi apakah seorang pemegang kartu tersebut benar-benar wartawan profesional atau sebenarnya ia adalah wartawan abal-abal yang beruntung mendapatkan kartu?

Nah, seorang wartawan dadakan, kemungkinan, tidak bisa membedakan antara artikel opini yang dibuat oleh penulis lepas dengan karya jusnalistik. Padahal antara keduanya jelas terdapat garis pemisah yang tegas.

Salah satu karya jurnalistik yang sangat umum adalah artikel dalam bentuk berita. Produk ini disiapkan oleh wartawan dengan berpegang teguh pada kode etik.

Apa substansi dari kode etik? Selain tidak mengesampingkan rumus wajib penulisan, yakni 5W+1H, maka sebuah berita harus ditulis secara berimbang. Seorang wartawan harus menulisnya dari — setidaknya — dua sisi. Kalau berita tersebut menyangkut pelayanan publik yang buruk, misalnya, selalu harus dimintai penjelasan pihak yang melaksanakan tugas pelayanan publik yang dikeluhkan oleh masyarakat. Ini yang di dalam jurnalisme disebut cover both side.

Lalu, apa bedanya dengan artikel opini bebas.

Setiap media, biasanya, menyediakan satu rubrik atau ruangan khusus untuk menampung pikiran, gagasan, atau pandangan tokoh tertentu terhadap suatu topik. Pandangan penulis tersebut tidak terikat dengan kode etik jurnalistik, meskipun penulisannya tetap harus mengikuti aturan lainnya, seperti kebahasaan, menjunjung tinggi kesopanan atau tidak menyerang pribadi. Intinya, tulisan tersebut tidak mengikuti ketentuan jurnalistik karena penulisnya bisa jadi bukan seorang wartawan. Jadi tidak ada kewajiban penerapan cover both side di dalamnya.

Dan, ini yang sangat penting. Di dalam rubrik opini harus dicantumkan keterangan yang mengingatkan semua pihak, bahwa isi artikel yang disajikan telah melalui proses editing oleh Redaksi tanpa menghilangkan substansi ide penulis. Juga harus dibuat penegasan, isi di luar tanggung jawab Redaksi. Artikel opini tidak mewakili pendapat Redaksi

Baik artikel opini, berita, iklan, desain grafis, foto atau video yang ada dalam tayangan sebuah media itu disebut produk perusahaan pers. Bukan produk pers. Harus dibedakan.

Produk pers adalah karya yang terikat dengan ketentuan kode etik. Sedangkan produk perusahaan pers adalah semua yang ditampilkan oleh laman atau hasil cetakan sebuah media.

Jadi, kesimpulannya, tidak semua yang disajikan oleh sebuah perusahaan pers merupakan karya jurnalistik. Makanya, Redaksi tidak memiliki tanggung jawab hukum terhadap penayangan iklan, artikel opini, atau produk lainnya di luar karya jurnalistik.[]

:: Penulis adalah pegiat kemerdekaan pers

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *