News  

Soal Penetapan Awal Ramadhan, tidak Ada Perintah Harus Patuh kepada Guru!

Ustadz Masrul Aidi (foto: Ist)

KabarAktual.id – Ustadz Masrul Aidi menjelaskan, haram hukumnya berpuasa pada 1 Syawal. Karena itu, baik yang memulai puasa sesuai pengumuman pemerintah atau pun tidak, berlaku ketentuan yang sama. Tidak boleh berpuasa pada 1 Syawal.

Pimpinan Pondok Pesantren Babul Maghfirah Cot Keue-eng, Aceh Besar, itu menyinggung kembali permasalahan penentuan awal Ramadhan 1446 H saat menyampaikan ceramah subuh di masjid Al Fitrah Asrama PHB, Lampriek, Banda Aceh, Selasa (4/3/2025). Ceramah ini memberi pencerahan tentang siapa yang harus dipatuhi dalam penentuan awal puasa.

Bagaimana orang yang tidak cukup satu bulan puasanya? Orang yang demikian wajib meng-qadzanya. “Siapa yang berdosa?” Orang yang telah memutuskan awal Ramadhan.

Ustadz Masrul Aidi memulai pembahasan dengan mengingatkan kembali peristiwa pengambilan sumpah terhadap saksi yang melihat hilal di Mahkamah Syar’iyah Jantho, Aceh Besar, Jumat (28/2/2025). Waktu itu, sebutnya, ada (saksi) yang melihat hilal tidak mau diambil sumpahnya oleh Mahkamah Syar’iyah karena bukan penduduk setempat.

Dikatakan, yang disumpah justeru orang yang tidak melihat hilal. Padahal, dalam fiqih Islam, konsep rukyatul hilal itu sangat sederhana. “Yang penting yang melihatnya seorang yang baik, bukan seorang yang fasik yang dicabut kesaksiannya,” ujar Ustadz Masrul.

Dia melanjutkan, bahwa yang dibutuhkan dari seorang saksi hanya sebuah pernyataan. “Asyhadu anni raaitu ila la Ramadhan (aku bersaksi bahwa aku sudah melihat hilal bulan Ramadhan).
Atau, dengan alternatif lain: Aku bersaksi bahwa hilal Ramadhan sudah wujud.

Dikatakan, kesaksian (seseorang) hanya tentang melihat hilal. Tidak penting apakah dia warga setempat atau bukan. Soal penetapan awal Ramadhan, kata dia, itu kewenangan ulil amri, kewenangan pemerintah. 

Dia melanjutkan, kalau sudah diumumkan oleh pemerintah, dengan catatan bahwa bulan syakban sudah 29 atau 30 hari, maka wajiblah penduduk sebuah negeri berpuasa.

Petikan isi ceramah selanjutnya …

Dalam kehidupan sosial keagamaan kita (Aceh) kadang-kadang menjadi terbalik. Sudah dinyatakan dalam Al Quran, bahwa ketaatan hanya kepada tiga pihak. Yā ayyuhallażīna āmanū aṭī’ullāha wa aṭī’ur-rasụla wa ulil-amri mingkum (Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul [Muhammad], dan Ulil Amri [pemegang kekuasaan di antara kamu]).

Tidak wajib ikut atau mematuhi ketentuan tentang puasa yang disampaikan pemimpin apabila tidak sesuai dengan konstruksi syariat. Misalnya, oleh Kementerian Agama diumumkan berhubung tahun ini ada indikasi terjadi Covid lagi maka Ramadhan dipercepat di 25 Syakban. 

Ini tidak boleh diikuti. La sam’a wala ta’ata. Tidak perlu didengar dan tidak wajib dipatuhi.
Tidak ada ketentuan dalam agama kewajiban untuk patuh kepada guru. Anomalinya, ada beberapa tempat pengajian yang justeru mengarahkan muridnya agar patuh kepada guru. Guru itu wajib dimuliakan, bukan wajib dipatuhi. Dimuliakan!

Kepatuhan kepada guru selama perintah guru sesuai dengan perintah Allah, perintah rasul, dan perintah ulil amri. Apabila guru memberikan perintah yang bertentangan — konsepnya — dengan perintah Allah, perintah rasul, dan ulil amri, maka juga tidak wajib taat.

Bila ketaatan kepada guru adalah wajib, maka yakinlah orang yang pertama mencontohkan ketikdaktaatan kepada guru adalah Imam Asy Syafiie. Beliau berguru kepada Imam Malik bin Anas tetapi tidak mematuhi fatwa Imam Malik. Beliau justeru mengeluarkan fatwa yang berbeda. Tapi beliau sangat hormat dan sangat memuliakan Imam Malik bin Anas.

Maka, konsep kehidupan, taatnya kepada Allah, rasul, dan ulil amri. Untuk guru, muliakan dan hormati.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *