Opini  

Mentalitas Rampok Lahir dari Keseharian Kita

Avatar photo
Ilustrasi kecurangan (foto: jalmilaip)

MENTALITAS perampok. Mungkin itulah kata yang tepat untuk menggambarkan betapa pola pikir korup telah menjangkiti keseharian kita. Pelan tapi pasti, proses kehancuran peradaban berlangsung dengan sangat ganas.

Mentalitas yang senantiasa memprioritaskan keuntungan pribadi di atas kepentingan orang banyak dengan mengabaikan etika dan keadilan ini, sejatinya, bukanlah fenomena yang muncul tiba-tiba. Tidak juga terjadi dengan sendirinya. Mentalitas ini harus dilihat sebagai hasil dari sebuah proses panjang, yang sudah berlangsung sejak lama.

Kita bisa menemukan dengan mudah realitas yang menunjukkan di mana manipulasi kecil dan pelanggaran etika yang dibiarkan telah mengakar dan berkembang menjadi budaya yang merusak di tengah kehidupan bangsa kita. Apa yang kita saksikan hari ini, mulai dari pelanggaran kecil dalam kehidupan sehari-hari hingga praktik korupsi dalam skala besar adalah cermin dari apa yang telah kita tanamkan dan abaikan sejak lama dalam kehidupan bangsa kita. 

Lihat saja di dunia pendidikan, misalnya, yang seharusnya menjadi tempat di mana nilai-nilai integritas ditanamkan, justru sering menjadi tempat di mana nilai-nilai dasar kejujuran dan tanggung jawab mulai dikompromikan dan bahkan dihancurkan.

Ketika seorang guru membiarkan siswanya berdiskusi atau menyontek saat ujian misalnya, itu harus dilihat lebih dari sekadar kelalaian, akan tetapi kenyataan seperti ini harus dilihat sebuah signal tersirat yang sedang diajarkan kepada generasi penerus bangsa ini bahwa aturan dapat dan boleh saja dilanggar asalkan tidak mengganggu orang lain.

Secara tidak langsung, seakan-akan, kita sedang berkata: “”Silahkan langgar semua aturan yang ada asal tidak ketahuan, atau silahkan langgar hukum yang penting sopan””. Tragis bukan? Itulah kenyataannya.

Contoh lain dalam kehidupan di keluarga yang juga menjadi salah satu sentra pendidikan bahkan menjadi faktor yang paling dominan dalam pembentukan karakter dan mentalitas seorang anak. Kita tidak jarang menemui, bahkan terkadang kita sendiri pernah melakukannya, ketika orang tua yang meminta anaknya untuk “”berbohong demi kebaikan”” maka hal ini harus kita sadari bahwa secara tidak langsung kita telah dan sedang menanamkan mentalitas korup itu dalam diri anak sejak dini.

Kompromi-kompromi kecil ini mungkin terlihat sepele dan kita lihat sebagai sesuatu yang wajar, tetapi suka atau tidak, hal-hal “”kecil”” inilah yang merupakan awal dari perilaku buruk yang kemudian menimbulkan dampak yang sangat besar dalam kehidupan kita.

Ketika manipulasi kecil dianggap wajar, ia akan tumbuh menjadi kebiasaan, lalu menjadi mentalitas yang sulit diubah. Artinya, buah dari kesalahan kecil inilah yang kemudian menciptakan mentalitas korup atau mentalitas perampok yang akan menimbulkan daya rusak yang sangat besar dan parah dalam kehidupan kita, yang kemudian kita menemukan kenyataan bahwa integritas menjadi barang langka. 

Jika mulai dari dunia pendidikan dan lingkungan keluarga dan sosial tidak lagi menegakkan nilai-nilai kebenaran, bagaimana kita bisa berharap generasi yang lahir darinya memiliki moralitas yang kuat? Tentu kita tidak perlu heran ketika kita menemukan perilaku korup itu terjadi di mana-mana.

Mentalitas perampok ini tidak hanya muncul di sektor-sektor tertentu misalnya di lingkungan elit kekuasaan, tetapi telah menjadi wabah sistemik yang dengan mudah kita dapati di hampir semua lini kehidupan bangsa kita.

Dari guru dan dosen yang tidak mengajar dengan sungguh-sungguh di dunia pendidikan misalnya, pedagang yang mengurangi timbangan contoh lainnya, hingga aparat hukum yang menjadikan aturan sebagai alat pemerasan, semuanya merupakan buah dari budaya permisif terhadap pelanggaran kecil yang sudah sejak lama kita biarkan. 

Ketika masyarakat terbiasa melihat ketidakjujuran, dari yang kecil bahkan yang berskala besar sekalipun, tanpa ada upaya koreksi, maka dengan sendirinya kita telah dan sedang memupuk generasi bangsa ini untuk menganggap korupsi dan perampokan hak orang lain itu sebagai bagian dari sebuah normalitas yang “biasa saja” dalam kehidupan sehari-hari.   

Keadaan ini akan semakin parah dan makin menjadi-jadi jika kita terus permisif dan membiarkan semua itu terus terjadi tanpa keinginan dan keberanian untuk menghentikannya. Ketika hukum yang seharusnya menindak pelanggaran justru sering kali tunduk pada uang dan koneksi, kita diam, ketika pemimpin yang seharusnya menjadi panutan malah menunjukkan contoh buruk, seperti memperkaya diri dan keluarga atas nama jabatan, kita diam, lalu ketika keadaan sudah sedemikian memburuk baru kita “terbangun” untuk mengutuk. 

Kata orang bijak “Negeri ini hancur bukan karena kuatnya orang jahat, tapi karena diamnya orang baik”. Artinya, jika kita yang menyadari bahwa kenyataan yang kita hadapi hari ini adalah sesuatu yang tidak benar, maka sudah seharusnya kita semua berani berbicara. Minimal berani berkata “tidak” ketika kita menemukan penyimpangan tersebut terjadi di depan mata kita.

“Barang siapa yang melihat kemungkaran (pelanggaran hukum dan moral) maka ubahlah dengan tanganmu, jika kamu tidak mampu maka ubahlah dengan lisanmu, jika kamu juga tidak mampu maka ubahlah (tolak lah) dengan hati hatimu (dengan membencinya), maka itulah selemah-lemah iman”. Demikianlah Rasulullah menitahkan kepada kita.

Artinya, untuk menghentikan kebiasaan korup yang sudah merajalela di tangah bangsa ini harus dimulai dari mengubah mentalitas kita untuk mengakui dan menyadari dari dalam hati kita masing-masing bahwa perilaku korup itu, baik kecil maupun besar adalah sesuatu yang salah. Sehingga, kita membencinya mulai dari dalam hati masing-masing yang kemudian kita tumbuhkan kesadaran itu sehingga menjadi kesadaran kolektif yang kemudian dijewantahkan dalam bentuk yang lebih komplek dengan upaya-upaya yang lebih kongkrit seperti penegakan hukum tentunya dengan adil dan beritegritas untuk memastikan bahwa perilaku korup ini pada akhirnya bisa kita kikis dari kehidupan bangsa kita.

Artinya, untuk mengatasi ini, kita memerlukan perubahan (kesadaran) yang dimulai dari hal kecil namun konsisten yang kemudian menjadi perubahan yang lebih besar dan kongkrit. Pendidikan harus kembali menjadi tempat di mana kejujuran, tanggung jawab, dan etika diajarkan dan dipraktikkan. Orang tua harus berhenti memberikan contoh buruk kepada anak-anak mereka. Aparat hukum dan pemimpin harus memberikan contoh nyata dengan menunjukkan integritas dalam tindakan mereka.  

Pada akhirnya, sekali lagi saya ingin menegaskan bahwa kita semua harus menyadari mentalitas perampok yang sedang terjadi di tengah bangsa kita adalah hasil dari akumulasi pembiaran kita terhadap pelanggaran kecil. Jika kita “sepakat” ingin memutus mata rantai ini, kita harus berani memulai perubahan dari diri sendiri dan lingkungan terkecil secara konsisten dan terus berupaya menyebarkan kesadaran itu sehingga akhirnya menjadi kesadaran kolektif bangsa kita.

Hanya dengan cara ini, kita dapat mengubah arah bangsa ini dari kehancuran menuju masa depan yang lebih bermartabat.[]

  • Penulis adalah alumni IAIN Ar-Raniry Banda Aceh

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *