Bye bye Cambuk …

Pelaksanaan hukuman cambuk di halaman sebuah masjid di Lhokseumawe beberapa waktu lalu (foto: Antara)

WAKTU itu 2018. Ada pernyataan yang bikin heboh dari Irwandi Yusuf, gubernur Aceh, terkait hukuman cambuk. Arsipnya masih gampang ditemukan lewat jejak digital.

Waktu itu, ia mengusulkan agar prosesi pelaksanaan hukuman cambuk tidak dilakukan di tempat terbuka. Tapi, dipindahkan ke ruangan tertutup saja. 

Rupanya statemen itu sensitif. Sehingga, dengan cepat menimbulkan reaksi dari mereka yang kontra.
Menurut seorang tokoh agama, apa yang disampaikan Irwandi mirip cara berpikir pentolan yang tidak mendukung pelak­sanaan syariat Islam di Aceh. “Itu politik mereka-mereka yang tidak menginginkan syariat Islam berjalan di sini,” begitu kesimpulan sementara kalangan.

Pernyataan Irwandi benar-benar bikin heboh. Laki-laki yang juga sering dipanggil Teungku Agam itu hampir-hampir dicap antisyariat Islam. Padahal ide memindahkan lokasi uqubat cambuk baru sebatas gagasan. Belum terlaksana. Apa lagi meniadakannya. Tapi, hebohnya luar biasa. 

Setelah Irwandi “pergi” ke Sukamiskin dan kekuasaannya digantikan oleh Nova, pelaksanaan hukuman cambuk sudah jarang terdengar. Pun, seterusnya. Ketika Aceh dipimpin oleh seorang Pj gubernur. Sama. Tidak pernah terdengar lagi hukum cambuk, apakah di dalam maupun luar ruangan. 
Sudah lama rupanya. Tidak ada lagi hukuman cambuk di sini.

Apakah ini menandakan tidak ada lagi pelaku pelanggaran? Tidak ada penangkapan orang berbuat mesum, judi, maisir, dan lain sebagainya? Tunggu dulu.

Dari penelusuran jejak digital pula, diketahui, banyak kasus pelanggaran syariat Islam terjadi. Yang terbaru, ditangkapnya 5 pasangan muda-mudi dari gubuk esek-esek di Gunung Kerambil, Tapaktuan, Minggu 12 Maret 2023. Para pelaku yang diduga telah berbuat khalwat, kini, sedang diproses oleh penyidik Satpol PP dan WH di sana.

Selain terduga pelaku mesum, pemilik café esek-esek juga mestinya dimasukkan ke dalam kelompok yang sama. Pelaku dan penyedia tempat diduga melanggar syariat Islam. Tapi, pemilik café, konon, sudah dilepas atas jaminan suaminya.

Akhir tahun lalu, juga sangat heboh. Lima pasangan nonmuhrim diangkat dari kamar berbagai hotel di Banda Aceh dan Aceh Besar. Mereka ditangkap dinihari saat berduaan di dalam kamar. Salah satu dari mereka merupakan oknum bu guru sebuah madrasah asal Aceh Jaya.

Para pelaku yang diyakini telah melakukan perbuatan melawan hukum syariat Islam, juga hilang dari Tahanan Satpol PP dan WH Aceh. Mereka diberi status penangguhan penahanan tanpa batas waktu. Karena, setelah hampir 3 bulan tidak kembali ke sel. Sepertinya, juga tanpa proses hukum.

Makanya, tidak pernah terdengar adanya hukuman cambuk. Baik terhadap 5 pasangan yang ditangkap di hotel, dan mungkin juga kepada mereka yang sedang disidik di Aceh Selatan. Karena, proses penyididikannya tidak berlanjut ke meja hijau.

Kita jadi bertanya-tanya sekarang. Kemana orang-orang yang kemarin sangat keras menentang ide pemindahan lokasi cambuk? Dimana mereka bersembunyi? Kenapa tidak lantang lagi.
Sekarang bukan lokasi cambuk yang dipindahkan. Mungkin juga tidak akan ada lagi hukuman yang bertujuan menciptakan efek jera terhadap pelaku pelanggaran syariat Islam tersebut.

Mungkin tidak lama lagi akan hilang. Mungkin sudah bisa kita ucapkan bye … bye cambuk. Mungkin.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *