SEBUAH akun Facebook menayangkan sekumpulan gambar, tepatnya cuplikan-cuplikan screenshot pemberitaan tentang carut-marut mahalnya harga tiket pesawat.
Di sana digambarkan, persoalan ini telah menjadi bulan-bulanan. Pejabat A mengatakan itu bukan kewenangan lembaganya, sementara instansi yang diserang berdalih lain lagi.
Di tengah debat-kusir itu, muncul pula pemberitaan bahwa Presiden Joko Widodo memberi lampu hijau untuk masuknya maskapai asing guna melayani rute domestik. Alasannya, seperti dikemukakan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, menggunakan logika prinsip ekonomi: agar terjadi persaingan sehat dan tidak terjadi monopoli.
Sampai di situ, logika awam hampir saja sepakat dengan argumentasi tersebut. Meski pada sisi lain, di lubuk hati paling dalam, ada pertanyaan yang cukup prinsipil: kita sekarang sedang berhadapan dengan siapa? Maskapai anak negeri — salah satunya dikelola oleh BUMN — dipaksa bertarung dengan perusahaan asing untuk merebut pasar domestik?
Belum sempat memahami teori ekonomi tadi, tiba-tiba muncul pemberitaan lagi: maskapai China mulai melayani rute domestik. Meski dibantah oleh Menteri Perhubungan, tapi peristiwanya memang benar adanya. Hanya saja Garuda membuat justifikasi bahwa yang terjadi adalah kerja sama codeshare antara maskapai China Airlines dengan Garuda Indonesia.
Apapun itu, bagi masyarakat tidak penting. Mereka lebih suka hal yang pragmatis, bagaimana agar harga tiket kembali normal; bukan murah. Sehingga, khusus bagi masyarakat Aceh, tidak lagi harus memutar ke Kuala Lumpur, jika ada urusan harus terbang ke Jakarta.
Pada sisi lain, langkah yang diambil masyarakat menyisiati mahalnya harga tiket domestik dengan cara terbang ke Kuala Lumpur, bukankah itu sebuah “tamparan” bagi Pemerintah?
Pertanyaannya: kenapa maskapai asing bisa menjual tiket dengan harga murah? Bukankah mereka juga menggunakan bahan bakar dan berbagai instrumen pendukung lain yang sama dengan maskapai yang ada di sini? Di situlah letak gagal pahamnya harga tiket mahal.
Apakah kebijakan mengizinkan maskapai asing terbang melayani rute domestik — jika ini terjadi – tidak akan memunculkan permasalahan baru? Misalnya, harus menyediakan fasilitas dan petugas imigrasi bagi bandara-bandara yang belum dilengkapi dengan fasilitas tersebut?
Lalu, bagaimana nasib maskapai lokal nantinya? Apakah mereka dibiarkan mati karena tidak bisa bersaing dengan maskapai asing?
Lalu, bagaimana nasib crew yang selama ini menggantung hidup di Lion Air, Garuda, dan lain-lain? Apakah mereka akan menambah panjang daftar pengangguran di negeri ini? Wallahu’alam.[]