PEMERINTAH mengakui adanya persoalan serius pada sejumlah ruas jalan tol yang dibangun pada era Presiden Joko Widodo. Pembangunan yang begitu masif tidak diiringi studi kelayakan memadai, sehingga banyak ruas tol kini sepi dan merugi.
Menteri Pekerjaan Umum (PU), Dody Hanggodo, mengatakan pihaknya tengah mengevaluasi keseluruhan proyek jalan tol yang mengalami penurunan trafik. “Kami mendorong integrasi infrastruktur melalui pendekatan koridor logistik nasional,” ujar Dody di Jakarta, Sabtu (8/11/2025).
Data Kementerian PU menunjukkan, terdapat 21 ruas jalan tol di Indonesia yang tingkat lalu lintasnya berada di bawah 50 persen dari asumsi Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT) per 2024. Kondisi tersebut membuat sejumlah operator tol kesulitan memenuhi standar pelayanan minimum.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Infrastruktur Strategis (PUKIS), MM Gibran Sesunan, menilai persoalan ini bermula dari studi kelayakan yang terlalu optimistis terhadap proyeksi ekonomi dan mobilitas masyarakat. “Optimisme yang berlebihan membuat prediksi trafik tidak sesuai kenyataan. Akibatnya, banyak proyek berujung merugi,” ujar Gibran.
Menurutnya, pendekatan pembangunan selama ini terlalu fokus pada aspek fisik, tanpa memperhitungkan integrasi wilayah dan konektivitas ekonomi. Banyak jalan tol yang dibangun tidak terkoneksi langsung dengan kawasan industri, pelabuhan, maupun pusat ekonomi setempat. “Tanpa integrasi wilayah dan kebijakan tarif yang berpihak pada pengguna, pembangunan tol hanya menjadi monumen beton,” tegas Gibran.
Tarif Tinggi Hambat Logistik
Selain perencanaan yang lemah, tarif tol yang mahal juga dinilai menjadi faktor utama rendahnya minat pengguna. Gibran mencontohkan, tarif kendaraan golongan I di Tol Manado–Bitung mencapai Rp1.200 per kilometer — angka yang memberatkan pelaku logistik.
Kondisi serupa terjadi pada ruas Bengkulu–Taba Penanjung, Krian–Legundi–Bunder–Manyar, dan Kanci–Pejagan, yang dilaporkan sepi pengendara. Padahal, sebagian besar tol tersebut dibangun dengan tujuan memperlancar arus distribusi logistik nasional dan menekan biaya angkut. “Kalau biaya melintas di tol lebih mahal dari jalur alternatif, pelaku logistik tentu memilih jalan biasa,” ujarnya.
Minimnya pengguna pada puluhan ruas tol itu dinilai mencerminkan lemahnya koordinasi dan pengawasan Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) di bawah Kementerian PU. Hingga kini, belum terlihat langkah konkret pemerintah untuk menurunkan tarif atau meninjau ulang model bisnis tol yang gagal menarik pengguna. “Masalah rendahnya trafik bisa menjadi bom waktu bagi keuangan proyek tol. Kegagalan pengembalian investasi akan menghambat proyek baru, bahkan menekan pertumbuhan ekonomi,” tutup Gibran.[]












