PERISTIWA pelecehan di kawasan wisata Pantai Riting, Aceh Besar, bukan sekadar insiden moral, tetapi cermin dari kelalaian tata kelola dan pengawasan yang serius. Kalau kemudian instansi terkait hendak melakukan sosialisasi, kesannya tidak ubah seperti aksi pemadam kebakaran.
Seperti ramai di media, seorang pria — yang ternyata pengelola lokasi wisata sekaligus residivis kasus serupa — tertangkap warga saat merekam wanita di toilet umum. Aksi bejat yang mengundang amarah masyarakat ini mestinya menjadi momentum introspeksi bagi pemerintah kabupaten.
Namun, yang terjadi justru jauh dari harapan publik. Alih-alih mengambil langkah hukum tegas, pemerintah daerah melalui Dinas Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga (Disparpora) memilih untuk “melakukan sosialisasi” dan pembinaan. Pendekatan ini menunjukkan cara berpikir yang lambat terhadap sebuah kejahatan yang nyata.
Baca juga: Setelah Insiden Asusila di Riting, Disparpora Aceh Besar Tegaskan Komitmen Jaga Wisata Halal
Dalam istilah masyarakat Aceh, apa yang dilakukan itu tak ubahnya seperti ungkapan pepatah. “Ek kayee watee ka lewat gajah”. Makna dari terjemahan harfiah “baru memanjat pohon ketika gajah sudah berlalu” adalah bertindak setelah sebuah peristiwa terjadi.
Dalam konteks penegakan hukum, sosialisasi bukanlah solusi. Tindakan hukum adalah kewajiban, terlebih pelaku diketahui residivis yang baru enam bulan lalu keluar dari penjara. Keterlambatan dalam bersikap justru memperlihatkan bahwa pemerintah masih melihat masalah ini sebagai “pelanggaran etika,” bukan sebagai tindak kriminal yang merusak rasa aman publik.
Aceh Besar harus berani menata ulang tata kelola seluruh objek wisatanya. Pembersihan terhadap anasir premanisme di lapangan tak bisa ditunda lagi. Jika pengelola wisata bisa menjadi pelaku pelecehan, maka ada sesuatu yang rusak dalam sistem pengawasan dan pengelolaan destinasi. Pemerintah daerah tidak boleh menutup mata terhadap fakta bahwa banyak lokasi wisata kini berkembang liar, tanpa tata kelola profesional, dan bahkan tanpa kontrol sosial yang memadai.
Baca juga: Rekam Wanita di Toilet Umum, Residivis Otak Mesum Nyaris Diamuk Massa di Pantai Riting
Revitalisasi tata kelola objek wisata menjadi kebutuhan mendesak. Pemerintah harus hadir melalui intervensi kebijakan yang nyata: pembenahan manajemen pengelola, pengawasan terpadu, serta penegakan hukum bagi setiap bentuk pelanggaran, sekecil apa pun. Destinasi wisata tidak boleh dibiarkan menjadi arena bebas yang diatur dengan logika preman, bukan dengan prinsip pelayanan publik.
Pantai Riting adalah cermin dari persoalan lebih besar: ketika promosi wisata halal dan syariah digembar-gemborkan, tetapi pengawasan di lapangan justru longgar. Wisata yang aman dan bersyariah tidak akan terwujud hanya dengan spanduk dan sosialisasi, melainkan dengan sistem yang menjamin keamanan, ketertiban, dan perlindungan bagi setiap pengunjung.
Aceh Besar mesti belajar dari insiden ini. Keindahan alam tanpa jaminan keamanan hanyalah fatamorgana pariwisata. Pemerintah tidak cukup datang dengan janji pembinaan, tetapi harus hadir dengan keberanian menegakkan hukum. Hanya dengan cara itu, wisata Aceh akan benar-benar mencerminkan nilai keislaman dan marwah masyarakatnya.[]












