BANDA Aceh 4 Oktober 2025 sore. Hujan baru saja mengguyur kota ini setelah beberapa hari angka di thermometer menunjukkan posisi kurang bersahabat. Rata-rata mendekati 40° C.
Cuaca mulai dingin di ibu kota Serambi Mekkah. Meskipun demikian, suasana tetap terasa hangat ketika menyimak Kepala Polda Aceh, Irjen Pol Marzuki Ali Basyah, berbicara tentang sesuatu yang jarang kita dengar dari seorang jenderal polisi: harmonisasi.
Alih-alih bicara soal angka kriminalitas atau operasi keamanan, ia justru mengajak orang Aceh untuk menebarkan energi positif. “Sudah bukan waktunya lagi membahas disharmoni ataupun disintegrasi. Sekarang saatnya membangun,” kata jenderal bintang dua itu pada Forum Komunikasi jajaran kepolisian Aceh dengan insan pers dan influencer di ruang Presisi Polda Aceh, Kamis (2/10/2025).
Baca juga: Irjen Marzuki: Narasi Negatif Bikin Aceh Makin Terpuruk
Menurutnya, kunci dari semua itu ada pada satu kata: harmonisasi. Bukan sekadar kata indah, melainkan sebuah proses panjang untuk menyatukan berbagai elemen berbeda agar bisa jalan bersama. “Keselarasan, keserasian, dan keseimbangan harus diciptakan,” ujarnya.
Kolaborasi ala Pentahelix
Irjen Marzuki tidak bicara kosong. Ia menawarkan sebuah model yang populer disebut Pentahelix: kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dunia usaha, akademisi, dan media. Lima elemen ini, katanya, harus duduk satu meja demi satu tujuan: kesejahteraan Aceh.
Kalau terdengar akademis, Marzuki punya cara sederhana untuk menjelaskannya. Ia menyinggung teladan Rasulullah SAW saat membangun Madinah. Konsep kota Madani itu, katanya, adalah contoh harmoni yang berhasil mengangkat sebuah peradaban.
Tak berhenti di situ, Marzuki juga mengajak Aceh belajar dari masa lalu kejayaan era Sultan Iskandar Muda (1607–1636). Saat itu, kata dia, Aceh bukan hanya kerajaan besar, tapi juga pusat perdagangan internasional di kawasan Selat Malaka.
Baca juga: Sebuah Kenangan Wawancara Khusus dengan Paduka Yang Mulia Hasan Tiro
Ia menyebutkan, salah satu simbol harmonisasi yang masih tersisa sampai sekarang adalah kawasan Peunayong, yang dulu dikenal sebagai Pecinan Aceh. Di sanalah Sultan Iskandar Muda menyambut tamu-tamu asing.
Aceh kala itu, sambungnya, menjadi rumah yang aman dan ramah bagi para pedagang luar negeri. Hubungan diplomatik dan perdagangan dijalin dengan banyak bangsa asing. Qanun ditegakkan dengan adil. “Dari situlah Aceh dikenal sebagai negeri yang kaya raya dan berperadaban,” cerita Marzuki dengan penuh semangat.
Harmoni untuk masa kini
Bagi Kapolda Aceh ini, pelajaran sejarah tersebut tetap relevan untuk hari ini. Harmonisasi bukan hanya soal damai-damaian, tapi juga soal ekonomi yang tumbuh, investasi yang masuk, dan pengangguran yang berkurang.
“Kalau kita bersatu, pabrik bisa dibangun, lapangan kerja terbuka, kemiskinan turun,” ujarnya optimistis.
Aceh, menurutnya, punya modal sejarah dan budaya yang kuat. Tinggal bagaimana semua pihak mau duduk bersama, menghidupkan kembali semangat harmoni yang pernah membawa Aceh ke puncak kejayaan.
“Bahkan meusyuhu sampai sekarang,” kata Irjen Marzuki sambil tersenyum, mengingatkan bahwa warisan kejayaan itu masih hidup dalam ingatan orang Aceh.[]