Opini  

APBA; Uang Rakyat yang Tersumbat di Meja Birokrasi

Avatar photo

APBA sejatinya berfungsi sebagai instrumen vital untuk mempercepat pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat Aceh. Dengan dukungan Dana Otonomi Khusus sesuai amanat UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, kapasitas fiskal Aceh sebenarnya cukup besar.

Namun, ketergantungan pada dana otsus membuat PAD masih rendah dan kemandirian fiskal belum terbangun. Sayangnya, kinerja fiskal belum memberi dampak signifikan. BPKA (2025) mencatat, hingga September realisasi APBA baru 61 persen dari Rp11 triliun.

Pola berulang berupa molornya pembahasan, panjangnya proses lelang, dan tarik-menarik kepentingan antara eksekutif–legislatif membuat banyak program baru berjalan di akhir tahun. Akibatnya, Indikator Kinerja Pelaksanaan Anggaran (IKPA) menurun dan manfaat APBA kurang terasa di masyarakat.

Baca juga: Pengesahan APBA-P 2025 Molor, Bappeda Bilang Segera Dibawa ke DPRA

Lebih jauh, kualitas belanja masih dipertanyakan. Laporan BPK Aceh (2023) menyorot peningkatan belanja fasilitas pejabat, sementara program pro-poor seperti pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi belum memperoleh porsi memadai. Padahal, mandat Permendagri No. 77/2020 menegaskan pentingnya belanja publik yang berpihak pada rakyat.

Konsekuensinya terlihat jelas. BPS Aceh (Maret 2025) mencatat tingkat kemiskinan 12,33 persen (tertinggi di Sumatra) dan pengangguran terbuka 6,2 persen, di atas rata-rata nasional 5,3 persen. Meski IPM Aceh mencapai 75,36, lebih tinggi dari rata-rata nasional, capaian ini belum cukup menjawab persoalan mendasar.

Baca juga: Trik Murahan Menguasai APBA

Padahal, peluang emas terbuka. Selain APBA Rp11 triliun, ada aliran dana besar: Rp10 triliun modal pemerintah pusat ke BSI dan Rp7 triliun dana Bank Aceh Syariah yang kembali dikelola di dalam negeri. Jika diarahkan ke UMKM, pertanian, perikanan, perkebunan, dan energi terbarukan, dana ini bisa menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi (Kemenkeu, 2025).

Namun, pengalaman menunjukkan: sejak 2008 hingga 2025, lebih Rp110 triliun dana otsus tak otomatis menurunkan kemiskinan (DPRA, 2025). Kuncinya ada pada keberanian reformasi tata kelola, percepatan pencairan, transparansi digital, dan belanja yang langsung menyentuh kebutuhan rakyat. Tanpa itu, APBA tidak akan berfungsi menggerakkan roda ekonomi.

Namun, besarnya dana bukanlah jaminan otomatis bagi peningkatan kesejahteraan. Pengalaman panjang Aceh menunjukkan, limpahan dana otonomi khusus sejak tahun 2008 hingga 2025 yang diperkirakan mencapai lebih dari Rp110 triliun (DPRA, 2025) tidak selalu berbanding lurus dengan turunnya angka kemiskinan.

Tantangan utama adalah keberanian pemerintah Aceh dan perbankan untuk tidak sekadar bermain aman di sektor konsumtif, melainkan menyalurkan dana ke sektor-sektor yang benar-benar menciptakan multiplier effect dalam kegiatan ekonomi dan lapangan kerja.

Untuk itu, optimalisasi APBA menuntut keberanian melakukan reformasi tata kelola anggaran, memperkuat kapasitas birokrasi, mempercepat proses pencairan, serta mengutamakan belanja yang langsung bersentuhan dengan kebutuhan rakyat.

Tanpa reformasi serius, pemerintahan Mualem–DekFad berpotensi membuat APBA terus menjadi “anggaran yang tersumbat” di meja birokrasi, dinikmati segelintir pejabat, bukan mengalir ke dapur-dapur rakyat. Padahal, cita-cita otonomi khusus Aceh adalah menghadirkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh warganya.

Jika pola lama tetap dipertahankan, visi Aceh Bermartabat, Maju, dan Islami hanya akan menjadi mimpi dalam dokumen politik, bukan kenyataan di lapangan. Dan, yang paling dirugikan adalah umat Islam, terutama masyarakat miskin dan kelompok rentan yang seharusnya penerima manfaat utama dari setiap rupiah APBA dalam pembangunan di Aceh.[]

:: Penulis, adalah Sekjen MW KAHMI Aceh dan pengamat ekonomi publik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *