Opini  

Aceh; Tamsil Desa Subur di Pinggir Jalan Besar

Avatar photo

BAYANGKAN sebuah desa subur yang terletak di pinggir jalan nasional. Desa ini punya tanah yang hijau, sawah yang membentang, dan hutan yang rimbun.

Di danau dan lautnya, ikan melimpah. Di bendungan dan aliran sungainya, air berlimpah ruah. Bahkan di perut buminya, tersimpan emas, besi, dan batu bara.

Desa ini seakan memiliki semua karunia alam yang didambakan oleh manusia.Namun sayang, seperti halnya banyak desa yang masih tertinggal, sarana umumnya jauh dari sempurna.

Jalan sudah ada, tetapi banyak yang masih berlubang dan belum teraspal mulus bahkan hanya merupakan jalan setapak. Pasarnya kecil dan sesak. Gudang pendingin untuk menyimpan ikan belum memadai. Saluran air hanya berupa parit alami yang kadang kering di musim panas dan meluap di musim hujan.

Baca juga: Enam Fokus Pembangunan Aceh di Bawah Kepemimpinan Mualem

Beginilah potret Aceh kita hari ini—sebuah desa subur di pinggir jalan nasional. Ia kaya sumber daya, tetapi miskin dalam pemanfaatan. Ia penuh potensi, namun sering kali salah dalam memilih prioritas pembangunan.

Suara-suara dari Balai DesaSuatu hari, para tokoh desa berkumpul di bawah pohon besar di dekat balai desa. Mereka berdebat tentang apa yang perlu dibangun lebih dulu.Aparat desa berkata: “Mari kita bangun balai desa yang besar dan megah. Dengan begitu kita bisa bekerja nyaman, rapat pun resmi, dan tamu merasa dihormati.”

Kepala desa menimpali: “Kantor desa harus jadi prioritas. Kantor adalah wajah desa. Tanpa kantor yang layak, wibawa kita berkurang.”

Para pemuda bersuara lantang: “Kami butuh gedung serba guna! Tempat olahraga, musik, dan kegiatan pemuda. Desa tanpa ruang kreatif akan membuat kami merantau.”Tokoh adat berbicara dengan nada tenang: “Banyak keluarga miskin di desa ini. Bantuan sosial harus diutamakan, jangan sampai perut warga lapar sementara bangunan berdiri megah.”

Tokoh agama angkat bicara: “Rumah ibadah harus nomor satu. Itulah pusat kehidupan rohani dan identitas kita.” Lalu para pedagang kecil berkata: “Pasar perlu dibangun dulu, karena dari pasar kami bisa hidup.”

Nelayan menambahkan: “Ikan kami banyak, tapi cepat busuk. Tolong buatkan gudang dingin, supaya hasil tangkapan bisa dijual mahal.”

Petani menyuarakan harapan: “Jalan ke sawah diperbaiki dulu. Kalau jalan bagus, hasil panen cepat sampai ke pembeli.”

Suara-suara itu mencerminkan realitas Aceh hari ini. Setiap kelompok punya kepentingan. Semua merasa permintaannya paling penting. Namun anggaran desa terbatas, dan tidak mungkin semua dibangun sekaligus.

Datangnya para penolong

Beruntunglah, desa ini tidak sendirian. Ada Dana Khusus yang turun tiap tahun. Ada bank yang mau memberi pinjaman ringan untuk alat-alat produktif.

Ada investor swasta yang mau menanam modal, asal jelas pengembaliannya dan dana khusus bisa menjadi opsi terbaik. Ada pula CSR perusahaan yang bisa diarahkan untuk fasilitas sosial.

Tak hanya itu, ada juga diaspora—anak-anak desa yang merantau jauh ke kota atau ke negeri orang—yang ingin ikut membantu lewat patungan atau crowdfunding. Dan tentu, ada filantropi dan wakaf yang bisa menopang rumah ibadah, beasiswa, dan bantuan sosial.

Sumber dana sebenarnya cukup banyak. Yang menjadi kunci bukan sekadar uang, melainkan skala prioritas: mana dulu yang harus dibangun agar desa cepat maju, agar desa tidak terjebak dalam membangun simbol tanpa fondasi ekonomi.

Prioritas yang MenggerakkanJika kita menengok pengalaman desa-desa yang berhasil maju, jawabannya jelas: mulailah dari infrastruktur yang bisa memutar ekonomi.

Pertama, jalan utama desa. Jalan adalah urat nadi. Tanpa jalan yang mulus, hasil tani dan laut tidak sampai ke pasar dengan baik. Biaya angkut naik, waktu terbuang, dan keuntungan hilang di jalan. Maka memperbaiki jalan adalah langkah pertama.

Kedua, pasar desa. Pasar adalah jantung. Dari pasar, uang berputar. Di pasar, petani, nelayan, pedagang kecil, dan konsumen bertemu. Jika pasar ditempatkan di lokasi strategis—misalnya perempatan jalan nasional—maka ia bukan hanya melayani warga desa, tapi juga orang dari luar. Pasar bisa menjadi mesin penghasil PAD.

Ketiga, cold storage dan ice plant. Ini adalah mata rantai yang sering terabaikan. Ikan yang melimpah tidak ada nilainya jika cepat busuk. Dengan gudang dingin, ikan bertahan lebih lama, harga naik, dan nelayan lebih sejahtera.

Keempat, air bersih dan saluran irigasi sederhana serta gudang/lumbung. Air adalah kehidupan. Tanpa air bersih, kesehatan terganggu. Tanpa irigasi, sawah mengering. Padahal desa ini punya bendungan.

Maka yang perlu hanyalah pipa dan saluran yang rapi. Gudang dan lumbung untuk menyimpan hasil panen untuk kebutuhan pangan dan menjaga harga.

Kelima, sekolah dan puskesmas sederhana. Tidak harus mewah, cukup fungsional. Yang penting anak-anak bisa belajar dengan nyaman, orang sakit bisa ditolong segera. Pendidikan dan kesehatan adalah fondasi pembangunan manusia.

Balai desa dan kantor aparat tentu perlu, tapi bisa dibuat sementara: misalnya menempati lantai dua pasar atau kontainer kantor. Simbol kemegahan bisa ditunda.

Rest Area dan Wisata: Magnet dari Luar

Ada satu potensi yang sering dilupakan, yaitu rest area dan wisata desa. Karena desa ini berada di pinggir jalan nasional, ia memiliki peluang besar menjadi tempat singgah truk, bus, dan wisatawan. Rest area sederhana dengan parkir luas, toilet bersih, musholla, dan kios oleh-oleh akan membuat kendaraan berhenti.

Setiap truk yang parkir, setiap bus yang singgah, berarti peluang uang masuk.Lebih jauh, desa juga bisa mengembangkan wisata desa. Entah itu kebun bunga, kolam ikan, air terjun, hutan wisata, atau pertunjukan budaya. Wisata tidak hanya memberi kebanggaan, tetapi juga membuka lapangan kerja bagi pemuda. Dari wisata, uang dari luar desa mengalir masuk, melengkapi putaran ekonomi dari dalam.

Dengan rest area dan wisata, desa bukan hanya dilalui, tetapi juga dikunjungi.Skema Pembiayaan yang KreatifSemua itu memang butuh biaya. Namun bukan berarti desa harus mengeluarkan semua dari kasnya. Ada cara bijak: bangun fasilitas yang bisa membayar dirinya sendiri.

Pasar bisa menarik retribusi kios, parkir, dan jasa timbang. Cold storage bisa menghasilkan uang dari sewa penyimpanan ikan dan penjualan es. Rest area bisa mendapat pemasukan dari parkir, sewa warung, dan toilet berbayar. Terminal truk bisa menjadi sumber pendapatan dari retribusi bongkar muat.

Semua pendapatan ini bisa masuk ke rekening penampung desa. Dari rekening itu, alurnya jelas:

1. Bayar biaya operasional.

2. Bayar cicilan hutang/investor.

3. Sisihkan dana perawatan.

4. Sisanya masuk kas desa.

Dengan pola ini, pembiayaan bisa dilakukan secara cicilan, tanpa memberatkan desa. Desa tetap tumbuh, investor puas, warga senang, dan transparansi terjaga.

Sementara itu, fasilitas sosial seperti rumah ibadah dan bantuan kemiskinan bisa berjalan paralel lewat jalur wakaf, CSR, dan filantropi. Jadi pembangunan ekonomi dan pembangunan sosial berjalan bersama, tanpa saling mengorbankan.

Menata HarapanDengan demikian, urutan pembangunan menjadi lebih jelas:

1. Perbaiki jalan utama.

2. Bangun pasar desa di lokasi strategis.

3. Sediakan cold storage dan ice plant.

4. Rapikan saluran air bersih.

5. Bangun sekolah dan puskesmas sederhana.

6. Sediakan balai/kantor sementara.

7. Kembangkan rest area dan wisata desa.

8. Jalankan program sosial dan rumah ibadah lewat jalur wakaf/CSR.

9. Bangun gedung megah dan gerbang identitas saat kas desa sudah kuat.Dengan urutan ini, semua kelompok masyarakat tetap mendapatkan apa yang mereka harapkan, meski waktunya berbeda.

Aparat tetap punya ruang kerja, meski sederhana. Tokoh adat dan agama tetap melihat program sosial berjalan lewat jalur khusus. Pemuda tetap punya ruang kegiatan di gedung serbaguna sederhana. Dan seluruh warga mendapat manfaat dari pasar, jalan, air bersih, sekolah, dan puskesmas.

Aceh sebagai Desa Besar

Jika analogi ini kita tarik ke Aceh, maka kita melihat Aceh memang laksana desa besar di pinggir jalan nasional Indonesia. Kekayaan alam ada di depan mata dan dimana-mana. Laut luas dengan ikan, udang, dan lobster. Tanah subur dengan kopi, kakao, dan padi. Hutan dengan kayu manis, nilam, dan pala. Perut bumi dengan emas, batu bara, dan besi.

Namun semua itu belum terkelola optimal. Banyak energi dihabiskan untuk membangun gedung dan simbol, tetapi lupa pada mesin ekonomi yang seharusnya menjadi penggerak. Banyak dana habis untuk kebutuhan sesaat, tetapi lupa pada investasi jangka panjang yang bisa membiayai dirinya sendiri.

Jika Aceh menata prioritas seperti desa bijak tadi, maka ia bisa bangkit. Bangun jalan, pasar, cold storage, rest area, dan wisata. Pastikan layanan dasar—air, sekolah, kesehatan—berjalan. Gunakan pembiayaan kreatif dengan melibatkan BUMDes, bank, CSR, diaspora, dan filantropi. Jadikan pembangunan sosial dan ibadah berjalan paralel, bukan saling menghambat.

Penutup: Dari Desa Subur Menjadi Desa Makmur

Dongeng tentang desa di pinggir jalan nasional sesungguhnya adalah cermin kita. Aceh sudah diberi anugerah alam luar biasa, tapi belum dikelola dengan bijak. Jalan belum mulus, pasar belum ramai, ikan belum segar sampai ke meja pembeli, wisata belum terangkat, rest area belum ada.

Padahal, jawabannya sederhana: bangun yang bisa memutar uang dulu, barulah bangun yang lain. Dengan begitu, pembangunan bisa berkelanjutan, cicilan bisa terbayar, investor tetap percaya, dan desa makin kaya.

Akhirnya, desa subur itu akan bertransformasi menjadi desa makmur. Aceh bukan lagi sekadar dilewati, tapi dikunjungi. Bukan hanya jadi penonton, tapi menjadi pemain dalam arus perdagangan, budaya, dan wisata.

Di situlah, Aceh akan menemukan kembali dirinya—bukan hanya desa di pinggir jalan nasional, tetapi pusat peradaban di ujung barat Nusantara.[]

:: Safuadi Harun, ST., M.Sc., Ph.D – Pemerhati Ekonomi dan Pembangunan Aceh

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *