SEJAK dilantik Februari 2025, masa kepemimpinan Gubernur Aceh Muzakir Manaf alias Mualem sudah memasuki delapan bulan pertama. Bagaimana dengan janji-janji yang pernah disampaikan dalam masa kampanye?
Salah satu janji politik yang paling ditunggu adalah penyelesaian persoalan rumah dhuafa—isu klasik yang setiap tahun menghantui wajah kemiskinan Aceh. Janji ini bukan hal baru. Penjabat gubernur sebelumnya sudah mengalokasikan pembangunan 3.000 unit rumah layak huni (RLH).
Mualem, dalam kampanyenya, menegaskan bahwa ia akan melanjutkan sekaligus menuntaskan program tersebut. Kenyataannya? Sepertinya jauh panggang dari api.
Menurut data yang dipublikasikan pemerintah Aceh, tahun 2025 awalnya, diproyeksikan bakal dibangun 3000 unit rumah. Sebagai bukti keseriusan, Pj gubernur waktu itu bersama Kepala Dinas Perkim sudah melakukan verifikasi lapangan.
Baca juga: Pembangunan 500 Rumah Dhuafa Dibatalkan, Anggaran Dialihkan untuk Bonus Atlet PON?
Dalam perjalanannya, berbagai cerita miring terkait penyaluran bantuan rumah dhuafa terus bergelinding. Isu negatif seperti dugaan permainan uang sampai juga ke telinga Mualem. Hal ini mendorong mantan Panglima GAM tersebut untuk melakukan pengawasan ketat, juga verifikasi ulang.
Ia terkesan mengabaikan hasil verifikasi yang pernah dilakukan semasa Pj Gubernur Safrizal beberapa waktu lalu. Padahal tim yang dibentuk Dinas Perkim Aceh, termasuk Pj gubernur sendiri, telah turun langsung ke lapangan untuk mendata calon penerima rumah bantuan.
Baca juga: Verifikasi Rumah Dhuafa Ala Pj Gubernur Safrizal Membodohi Publik
M Nasir saat masih berstatus Plt Sekda Aceh mengaku mendapatkan informasi soal rumah bantuan yang tidak tepat sasaran. Makanya, kata dia, diperlukan penanganan khusus. “Kita akan bentuk Satgas di kabupaten/kota untuk mengawasi seluruh tahapan, mulai dari verifikasi hingga pelaksanaan pembangunan,” ujarnya usai mengikuti rapat terbatas dengan gubernur di Lhokseumawe, Sabtu (26/7/2025).
Menurut Nasir, rencana membentuk Satgas itu mengemuka dalam rapat. Rencana ini disinggung saat membahas penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) 2026 di kediaman Gubernur Aceh di Kota Lhokseumawe.
Baca juga: Safrizal, Sosok Pj Gubernur “Pemburu Rente”
Plt Sekda menegaskan, pembentukan Satgas bertujuan untuk memastikan penyaluran bantuan rumah layak huni tepat sasaran. Pembentukan Satgas, kata dia, dapat dimulai pada 2025 bila dinilai mendesak. Namun, paling lambat tahun 2026, tim pengawas tersebut sudah aktif. “Satgas ini fokus pada pengawasan langsung, bukan sekadar administrasi,” kata Nasir.
Gubernur Aceh Mualem menegaskan pentingnya ketepatan sasaran dalam program bantuan rumah layak huni. Ia juga menyinggung adanya praktik pengutipan biaya dari penerima bantuan serta penerima yang tidak memenuhi kriteria.
Mengutip penegasan gubernur, Plt Sekda mengatakan, bahwa penerima rumah layak huni tidak tepat sasaran harus dibatalkan dan dialihkan. “Jangan sampai mengulang kesalahan yang sama,” tegas Mualem waktu itu.
Belum lagi hasil “investigasi” tim bentukan gubernur Mualem itu dirilis ke publik, sebuah berita miring keburu beredar. Sebuah LSM membocorkan, bahwa Pemerintah Aceh batal membangun sekitar 500 rumah dhuafa karena anggarannya dialihkan untuk membayar bonus atlet PON Aceh.
Kepala Dinas Perkim T Aznal telah membantah pernyataan tersebut. Menurut dia, Pemerintah Aceh tidak membatalkan pembangunan RLH, tapi hanya membangun sesuai hasil verifikasi. “Dari total 2.000 calon penerima, hanya 1.470 unit yang dinyatakan memenuhi syarat,” ujarnya, Kamis (18/9/2025).
Dia menjelaskan, awalnya memang dialokasikan anggaran untuk 2.000 unit RLH. Tapi, setelah dilakukan verifikasi ketat dan transparan ke lapangan, hanya 1.470 unit yang dinyatakan memenuhi syarat. “Kami tidak membatalkan rumah rakyat miskin. Justru memastikan rumah yang dibangun benar-benar sesuai ketentuan,” tegasnya.
Seperti kecurigaan Mualem, pendataan calon penerima rumah dhuafa memang sarat permainan sehingga banyak yang tidak tepat sasaran. Masyarakat miskin yang tidak punya koneksi sulit mendapatkan bantuan. Sebaliknya, mereka yang dekat dengan kekuasaan bisa mendapatkannya dengan gampang.
Karena itu tidak aneh jika kemudian program ini terkesan seperti menyiram air ke atas daun talas. Tak kelihatan bekasnya. Rumah-rumah reyot tetap menghiasi wajah Aceh dimana-mana meski APBA terkuras ratusan miliar.
Pernyababnya? Karena tim verfifikasi tidak bekerja dengan benar. Mereka tidak mengumumkan hasil kerjanya secara lengkap ke publik.
Hal ini dengan mudah bisa dilihat, misalnya dari ketimpangan distribusi jumlah rumah yang dibangun. Ada daerah yang mendapatkan alokasi sangat banyak, sementara sebagian lagi hanya mendapatkan beberapa rumah saja. Ini menandakan metode kerja mereka sarat kepentingan politik, bukan pemerataan dan didasari rasa keadilan.
Jika dibandingkan dengan jumlah keluarga miskin di Aceh yang masih tinggal di rumah tidak layak huni, jumlah rumah yang dibangun nyaris tak berarti. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), per Maret 2025 jumlah penduduk miskin di Aceh mencapai lebih dari 761 ribu jiwa atau sekitar 14,45 persen dari total populasi—tertinggi di Sumatra. Sebagian besar dari mereka tinggal di rumah-rumah reyot, berdinding papan lapuk, dan beratap bocor.
Di lapangan, praktik pembangunan rumah dhuafa justru diwarnai aroma mafia proyek. Ada laporan bahwa warga diminta menyetor Rp10 juta untuk sekadar masuk daftar penerima rumah bantuan. Jika kabar ini benar, maka janji politik gubernur terancam terjebak dalam lingkaran korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang selama ini menjadi penyakit kronis birokrasi Aceh.
Ironisnya, di tengah penderitaan rakyat yang tidak punya rumah layak huni, pejabat pemerintah Aceh justru hidup bermewah-mewah, sementara dana publik—termasuk keuntungan Bank Aceh Syariah—disimpan di luar Aceh dengan alasan rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio). Padahal, dana tersebut sejatinya bisa dioptimalkan untuk mempercepat pengentasan kemiskinan, terutama dalam penyediaan rumah layak bagi rakyat kecil.
Janji kampanye bukan sekadar retorika, melainkan kontrak moral antara pemimpin dan rakyat. Dari persoalan rumah dhuafa, Muzakir Manaf kini diuji: apakah ia benar-benar pro-rakyat atau hanya melanjutkan tradisi pemimpin sebelumnya yang menjadikan isu rumah miskin sebagai komoditas politik lima tahunan.
Jika serius, ia bisa memanfaatkan kombinasi APBA, keuntungan Bank Aceh Syariah, serta laba BUMD untuk menutup kekurangan pembangunan rumah layak huni.
Pemerintah Aceh harus transparan mempublikasikan progres pembangunan rumah dhuafa, sekaligus membersihkan praktik percaloan dan mafia proyek yang mempermainkan kesusahan orang miskin. Jika tidak, persoalan rumah dhuafa akan terus menjadi luka tahunan yang mencoreng wajah Aceh.
Aceh butuh bukti nyata, bukan sekadar janji.[]
Penulis, adalah pengamat kebijakan publik dan pemerintahan