Opini  

Bisnis Pemerintah Aceh; Siapa Untung, Siapa Buntung?

Avatar photo

BISNIS yang dijalankan oleh Pemerintah Aceh, termasuk lembaga keuangan dan perusahaan milik daerah, semestinya menjadi instrumen pembangunan yang berpihak kepada rakyat. Namun kenyataannya, manfaatnya sering tampak lebih mengalir ke kalangan elite politik, birokrasi, dan kelompok yang dekat dengan kekuasaan.

Data resmi dari BPS Aceh justru memperkuat kekhawatiran bahwa pertumbuhan ekonomi yang positif belum berhasil diikuti perbaikan nyata dalam distribusi kesejahteraan. BPS Aceh melaporkan bahwa ekonomi Aceh pada tahun 2024 tumbuh 4,66 persen (c-to-c) dibandingkan tahun sebelumnya. Angka ini lebih tinggi dibanding beberapa tahun sebelumnya:2023 tumbuh 4,23 persen 2022 sekitar 4,21 persen 2021 lebih rendah, sekitar 2,81 persen.

Di Triwulan I-2025, pertumbuhan ekonomi Aceh juga tetap positif: 4,59 persen (year-on-year). Meski demikian, sektor pertanian yang mendominasi struktur ekonomi Aceh (sekitar 30,97 persen dari PDRB) menunjukkan bahwa diversifikasi ekonomi masih terbatas.

Baca juga: CSR PT PEMA Ditransfer untuk Bantu Dies Natalis PTS Elit di Jakarta

Data dari BPS Aceh memperlihatkan kenyataan yang berlawanan dengan optimisme angka pertumbuhan: Jumlah pengangguran Aceh per Februari 2025 mencapai sekitar 149.000 orang dari angkatan kerja sebanyak ±2,7 juta orang. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar 5,50 persen. Disparitas: pengangguran laki-laki lebih tinggi (±6,49%) dibanding perempuan (±3,91%) ; dan TPT di perkotaan lebih tinggi daripada di pedesaan.

Kenapa Publik Kurang Merasakan Manfaat

Meskipun pertumbuhan ekonomi Aceh menunjukkan tren positif dan stabil, manfaatnya tidak dirasakan merata oleh masyarakat. Berikut adalah beberapa faktor yang memperkuat argumen bahwa bisnis pemerintah belum sepenuhnya pro-rakyat:

1. Konsentrasi Keuntungan

Perusahaan milik daerah dan lembaga keuangan (seperti Bank Aceh Syariah) memiliki potensi profit besar, namun publik mencurigai bahwa aliran keuntungan lebih banyak digunakan untuk kepentingan elite dan pemimpin politik, bukan untuk pembangunan sosial atau pengentasan kemiskinan.

Baca juga: Penunjukan Caleg Gagal Mawardi Nur Sebagai Dirut PT PEMA Melanggar Qanun

2. Pengelolaan dan Penunjukan Pejabat Strategis

Penunjukan direktur atau pejabat kunci sering tidak transparan, dan mekanisme fit and proper test atau penilaian kelayakan dan kepatutan dianggap belum dijalankan dengan konsistensi. Ini membuka ruang bagi nepotisme atau patronase politik.

3. Ketidakseimbangan Antar Wilayah dan Sektor

Struktur ekonomi Aceh masih sangat dipengaruhi oleh sektor pertanian dan sektor informal. Sementara sektor yang bisa memberikan produktivitas tinggi seperti industri, jasa keuangan, atau transportasi belum secara optimal dimanfaatkan agar mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar dengan upah layak.

4. Daya Beli dan Kesejahteraan Rakyat

Dengan pengangguran yang masih di atas 5 persen dan jumlah penduduk usia kerja yang belum terserap, daya beli masyarakat tetap rendah. Kekurangan pendapatan juga berpengaruh pada akses ke layanan dasar seperti kesehatan, pendidikan, dan gizi.

5. Isu Transparansi dan Akuntabilitas

Laporan keuangan dan data operasional perusahaan milik pemerintah dan lembaga keuangan publik sering kali kurang dipublikasikan secara detail sehingga masyarakat sulit mengetahui apakah pengelolaan tersebut benar-benar mengutamakan kepentingan masyarakat ketimbang kepentingan politik.

Perlunya Reformasi Struktural

Dengan data dan analisis tersebut, saya mengambil beberapa kesimpulan dan rekomendasi:

Pemerintah Aceh harus memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi bukan hanya angka, tapi memberi impact terhadap kesejahteraan rakyat secara nyata.

Reformasi dalam penunjukan pejabat strategis sangat krusial agar prosesnya transparan, akuntabel, dan berdasarkan kompetensi.

Perlu kebijakan redistribusi yang lebih kuat: misalnya, keuntungan dari perusahaan milik pemerintah harus sebagian dialokasikan untuk layanan publik, subsidi sosial, pembangunan infrastruktur di wilayah perdesaan dan terpencil.

Dorongan untuk diversifikasi ekonomi agar sektor-sektor produktif dan industri yang mampu menyerap tenaga kerja besar diberi insentif dan dukungan nyata.

Monitor dan audit independen harus diperkuat agar publik bisa ikut mengawasi; masyarakat perlu diberikan ruang agar suara mereka didengar dalam pengambilan kebijakan bisnis pemerintah.

Aceh memiliki potensi besar: sumber daya alam, sumber daya manusia, dan pertumbuhan ekonomi yang sudah menunjukkan perbaikan. Namun, pertumbuhan itu tidak akan berarti jika tetap hanya menguntungkan segelintir pihak. Pemerintah Aceh perlu bergerak dari wacana pro-rakyat menjadi tindakan nyata pro-rakyat — dan ini tidak mungkin bila struktur kekuasaan dan bisnis terus berjalan seperti biasa.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *