KabarAktual.id – Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Zulfadhli, melontarkan pernyataan yang terkesan provokatif saat menerima pengunjuk rasa, Senin (1/9/2025). “Aceh pisah dari Pusat (Indonesia). Berani tulis? Sini saya teken,” ujarnya di tengah kerumunan pengunjuk rasa depan Gedung DPR Aceh.
Zulfadhli melontarkan pernyataan itu dalam kalimat tanya sebagai tambahan poin tuntutan yang menjadi aspirasi para pendemo. Mimiknya terlihat serius saat mengucapkan kalimat itu. Meskipun demikian, seseorang terlihat mendorong-dorong tubuh Zulfadhli usai mengucapkan kalimat tersebut sehingga membuat dia kurang nyaman dan menolah ke belakang.
Para mahasiswa dan elemen sipil lainnya menyampaikan tujuh tuntutan dalam pernyataan sikap mulai dari persoalan reformasi DPR RI/DPRA, persoalan tambang hingga pembatalan tambahan batalyon di Aceh.
Setelah selesai membacakan seluruh tuntutan peserta aksi, Zulfadhli yang politisi Partai Aceh itu melemparkan pertanyaan kepada massa pengunjuk rasa. “Tambah satu poin lagi. Aceh pisah dari Pusat. Sini saya teken,” ujar Zulfadhli.
Baca juga: Demo Menjalar ke Daerah-daerah, Korban Berjatuhan
Setiap poin pernyataan pengunjuk rasa langsung ditanggapinya. Begitu tiba pada poin terkait penolakan penambahan batalyon, ia terlihat sangat berapi-api. “Penambahan batalyon melanggar UUPA,” ujarnya sambil mengacunkan tangan dan meneriakkan pekikan “merdeka” beberapa kali.  

Saat dikonfirmasi kembali oleh awak media terkait pernyataannya, Zulfadhli hanya memberikan jawaban singkat. “Sudah, sudah ya. Seperti yang di depan tadi. Sudah ditandatangani,” ujarnya.
Berikut tuntutan peserta demo di Banda Aceh:
- Reformasi total DPR RI dan DPR Aceh: Tuntutan ini mencakup penghapusan budaya korup, perbaikan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan, serta penolakan terhadap wakil rakyat yang dianggap anti-demokrasi dan pro oligarki.
 - Reformasi Polri: Massa aksi menuntut penghentian tindakan represif, penegakan hukum yang adil dan profesional, serta pemecatan aparat yang terlibat dalam pelanggaran HAM.
 - Penuntasan pelanggaran HAM: Tuntutan ini menyoroti Tragedi 1998, kasus-kasus di Aceh, dan pelanggaran HAM terkini, serta menuntut keadilan bagi korban dan jaminan hak asasi manusia.
 - Penolakan pembangunan batalyon di Aceh: Massa berargumen bahwa pembangunan batalyon teritorial bukan solusi bagi persoalan Aceh dan dapat menimbulkan trauma masa lalu. Mereka juga meminta penghormatan terhadap semangat perdamaian MoU Helsinki.
 - Evaluasi menyeluruh terhadap tambang di Aceh: Tuntutan ini menyerukan penghentian eksploitasi sumber daya alam yang merusak, audit izin tambang, serta pelibatan masyarakat adat dan lokal.
 - Pembebasan aktivis: Massa meminta pembebasan tanpa syarat bagi aktivis yang ditangkap dan penghentian kriminalisasi terhadap para pejuang keadilan.
 - Transparansi Dana Otonomi Khusus (Otsus) Aceh: Tuntutan terakhir adalah publikasi laporan penggunaan dana Otsus dan penuntasan kasus korupsi dalam pengelolaannya.
 
Zulfadhli menyatakan setuju terhadap penolakan pembangunan lima batalyon di Aceh. Alasannya, karena hal itu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). “Tolak pembangunan Batalyon di Aceh. Ini bertentangan dengan UUPA,” tegasnya.
Terkait dengan tuntutan evaluasi terhadap tambang, Zulfadhli menyatakan komitmen untuk menindaklanjutinya dengan membahas permasalahan tersebut dalam rapat paripurna DPR Aceh.[]

									










