PUBLIK, semula, tidak yakin Pj Gubernur Aceh Safrizal ZA punya misi tertentu di manajemen BPMA (Badan Pengelola Migas Aceh). Natural saja. Sebagai pejabat pusat, dia hanya ditugaskan untuk dua hal utama, yakni menyukseskan pilgub dan menjalankan roda pemerintahan di masa transisi.
Hanya itu!
Makanya, ketika dia ngontot ingin mengganti kepala BPMA, publik pun bertanya. Apa yang sedang diincar Safrizal?
Setidaknya ada dua hal yang terasa kurang masuk akal dan terkesan kontradiktif ketika Safrizal sangat ngotot untuk mencapai keinginannya tersebut. Pertama, jabatan kepala BPMA tidak dalam keadaan lowong karena sudah diperpanjang hingga November 2025.
Kedua, Komisi Pengawas BPMA Muzakir Manaf sudah meminta dengan tegas agar Safrizal menunda sementara seleksi hingga dilantiknya gubernur definitif.
Surat resmi gubenur terpilih itu juga tak digubris. Safrizal terus dengan agendanya, langsung menetapkan tiga besar calon kepala BPMA.
Padahal, mantan Panglima GAM yang sering disapa Mualem itu dalam suratnya sudah menjelaskan historis pendirian BPMA, bahwa lembaga tersebut punya hubungan dengan konflik Aceh di masa lalu. “Pendirian BPMA dibutuhkan guna mendorong keikutsertaan Pemerintah Aceh dalam pengelolaan migas supaya memberikan manfaat yang lebih besar untuk kesejahteraan masyarakat Aceh,” begitu diingatkan Mualem.
Kemudian, secara implisit juga diingatkan bahwa tugas Pj gubernur adalah mengisi proses transisi kepemimpinan selama masa pilkada serentak. Karena pilkada telah selesai dan jabatan kepala BPMA sudah diperpanjang selama satu tahun hingga 25 November 2025, maka tidak ada alasan yang mendesak untuk segera dilakukan penjaringan calon kepala BPMA yang baru.
Sebagai pejabat Pusat yang segera mengakhiri masa tugasnya, ngototnya Safrizal melanjutkan proses seleksi calon kepala BPMA semakin menguatkan dugaan bahwa dia punya interest di sana. Untuk alasan itu, dia begitu gampang membelakangi Mualem yang dengan segala cara sudah berupaya untuk menyadarkan dia. “Substansi pembentukan BPMA itu adalah untuk menjaga harmoni antara Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat,” begitu pesan yang dikirim Mualem melalui suratnya.
Setelah Safrizal menunjukkan sikap mbalelo, berbagai spekulasi muncul. Ada yang membaca kalau Safrizal yang “utusan Mendagri Tito Karnavian” itu kemungkinan punya deal tertentu dengan calon putra mahkota yang disiapkannya.
Sadar akan masa jabatannya sebagai Pj gubernur yang segera berakhir, dia memanfaatkan peluang yang tersisa semaksimal mungkin. Keberanian yang terkesan sangat “membabibuta” patut diduga dilakukan dengan dukungan kuat dari atasannya Menteri Dalam Negeri. Sebab, sebagai bawahan, seorang ASN pasti bekerja atas persetujuan atasan.
Karena tuntutan kinerja?
Kalau, misalnya, ada argumentasi yang dibangun bahwa inisiatif untuk segera mengganti kepala BPMA karena tuntutan kinerja dan ingin berbuat untuk Aceh, rasanya juga kurang logis. Selain beberapa alasan di atas, kenapa Safrizal hanya fokus untuk BPMA? Apakah karena itu lahan basah dan besar potensi cuan-nya?
Masih banyak aspek lainnya yang butuh bantuan dia kalau memang punya keinginan untuk memperbaiki. Puluhan bahkan mungkin juga ratusan sekolah jenjang SMA dan SMK di Aceh tidak punya kepala sekolah definitif selama bertahun-tahun. Kenapa itu tidak dikerjakan dan tidak beri perhatian sedikit pun? Apakah kurang menarik karena pekerjaan tersebut tidak punya hubungan dengan migas?
Harusnya Safrizal meninggalkan legasi yang baik untuk dikenang sebagai putra Aceh yang memperbaiki, bukan karena mengejar ambisi. Pendidikan adalah fondasi masa depan. Harusnya itu yang perlu dibenahi, bukan cuan di sektor migas.
Sangat disayangkan. Safrizal yang merupakan putra Aceh mengabaikan begitu saja pandangan masyarakat Aceh, tanah kelahirannya sendiri. Di sini terlihat, bahwa kekuasaan dan interest pribadi sering kali membuat seseorang lupa asal-usul dan reputasinya.[]