“Ganti mentri ganti kebijakan,” kata si A.
“Sarjana membludak, pengangguran menumpuk,” teriak si B.
“Gelar akademik menjulang tinggi, tapi moralitas bangsa tak kunjung bisa diperbaiki,” sambung si C.
“Di jalanan dan di panggung kampanye teriak perlawanan, di parlemen dan di emperen istana jadi babu,” kata si D.
“Pendidikan jalan terus, tapi perbudakan tak kunjung usai,” celoteh si E.
Mungkin demikianlah serangkain uangkapan yang bernada kutukan dan juga gugatan yang sering kita dengar yang jika kita tarik garisnya semuanya bermuara pada satu kesimpulan: “Pendidikan kita gagal melahirkan manusia merdeka yang memerdekakan”. Anda berhak untuk tidak setuju, tapi anda tidak bisa menolak realitas bahwa bangsa ini sedang tidak baik-baik saja.
Ya, harus kita akui secara jujur dan objektif bahwa bangsa ini sudah terlalu lama dicengkeram oleh kebiadaban orang-orang rakus yang “gagal” dididik sempurna oleh lembaga pendidikan untuk menjadi manusia yang merdeka dan memerdekakan. Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) terus saja berlangsung dengan begitu sistematis dan massif, juga sangat vulgar.
Dari pusat kekuasaan hingga ke ruang kelas, dari ruang sidang hingga ruang rapat birokrasi daerah, bau “anyir” pengkhianatan terhadap nilai-nilai keadilan begitu pekat.
Lalu apa? Ada tanya yang harus kita jawab bersama yaitu “Kemana muara perjalanan bangsa ini?” “Untuk tujuan sebenarnya pendidikan yang sedang diselenggarakan?”
Baru-baru ini Kemendikdasmen kembali melakukan “gebrakan” sebagai penanda bahwa rezim sudah berganti. Delapan dimensi lulusan dilahirkan dan dikampanyekan dengan begitu sempurna yang seolah-olah harapan baru untuk melahirkan generasi yang lebih baik melalui pendidikan akan segera menjadi kenyataan.
Delapan dimensi lulusan yang kerap dikutip dalam pidato-pidato pejabat pendidikan “rezim baru” ini seharusnya tak berhenti di atas kertas. Ia benar-benar harus menjadi senjata yang dapat mengubah keadaan.
Idealnya delapan dimensi lulusan tersebut harus benar-benar menjadi peta jalan untuk melahirkan generasi yang bukan hanya cerdas secara akademik, tetapi juga berani melawan kemapanan yang busuk, bukan sekedar jargon, bukan sekedar “jalan” untuk menghabiskan anggaran melalui proses perencanaan, peresmian dan juga sosialisasi dari pusat ke daerah yang tentunya dijalankan dengan anggaran publik.
Dimensi Keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan YME misalnya yang menjadi dimensi lulusan pertama dan utama, ini seharusnya bukan diaktualiasasikan dengan melahirkan generasi yang berpenampilan religius, yang begitu fasih menghafal dan melafalkan teks agama, tapi harus menjelma menjadi generasi yang punya keberanian moral untuk menyatakan yang benar itu benar, dan yang salah itu salah, meskipun pelakunya adalah orang berpangkat tinggi atau terhormat di mata publik. Selama ia salah, maka harus berani ditunjuk hidungnya bahwa ia salah.
Pendidikan yang melahirkan manusia berpenampilan religius, tetapi diam terhadap ketidakadilan, hanyalah topeng religius tanpa ruh perjuangan, sungguh bukan manusia-manusia yang “religius” sedhaif ini yang kita ingin lahirkan dari dunia pendidikan.
Dimensi Kewargaan yang menjadi dimensi ke dua, dimensi ini sudah seharusnya melahirkan dan menuntun generasi untuk dapat lebih dari sekadar hafal sila Pancasila dan berteriak bahwa “Saya merah putih, Saya Pancasilais”, tapi hanya bisa terduduk diam untuk berkompromi bahkan ikut-ikutan menikamti hasil “kerakusan” mereka yang merusak negeri dengan mengatasnamankan Pancasila. Dimensi ini seharusnya bisa melahirkan generasi yang punya keberanian dan juga kesadaran bahwa warga negara bukan budak negara. Ini tentang hak untuk bertanya, menggugat, dan bahkan jika perlu berani untuk melawan ketika kebijakan menyengsarakan rakyat dan hanya menguntungkan segelintir elite.
Dimensi Penalaran kritis yang menjadi dimensi ke tiga, ini adalah alarm agar generasi muda tak mudah dibungkam oleh narasi “hegemonic” penguasa yang dikemas manis lewat media dan birokrasi. Mereka harus mampu mencium kebusukan di balik pembangunan, manipulasi di balik jargon digitalisasi, dan ketimpangan yang dikemas sebagai pertumbuhan ekonomi. Generasi yang seperni inilah yang akan menjadi “penguba keadaan”, yang bisa membuat para bedebah tidak bisa tidur nyenyak, tidak lagi memperbudak anak negeri demi ambisi oligarki.
Selain itu ada dimensi Kreativitas, ini bukan soal membuat konten lucu agar viral di media sosial semata, tapi lebih sebagai daya cipta dan daya juang yang lebih kuat dan taham untuk menguliti dan membongkar kepalsuan dan kesewenang-wenangan, serta semaksimalmungkin menghadirkan alternatif baru untuk memperjuangkan dan mewujudkan keadilan dan kesejahteraan. Pendidikan yang hanya mencetak pengikut dan penyembah kekuasaan, tak akan pernah melahirkan pembaru yang merdeka dan memerdekakan.
Kolaborasi dan kemandirian yang menjadi dimensi selanjutnya juga harus diartikan sebagai gotong royong membangun kekuatan rakyat, bukan gotong royong untuk “mendukung dan tunduk” pada arahan penguasa tanpa keberanian bertanya. Bukan pula untuk melahirkan generasi yang saling jilat demi mendapatkan posisi. Tapi harus diarahkan untuk melahirkan kemandirian sejati yaitu generasi yang berani hidup lurus meski ditinggal sistem. Bukan ikut arus karena takut diasingkan.
Dimensi Kesehatan fisik dan mental juga bukan hanya untuk melahirkan generasi yang bertubuh sehat dan gagah, tapi harus leboih progressif dari itu yaitu dengan melahirkan generasi yang punya ketahanan fisik dan mental dalam menghadapi tekanan sosial, politik, bahkan represi ketika bersuara lantang menentang ketidakadilan yang terjadi. Dalam iklim demokrasi yang semu, orang sehat yang sebenarnya adalah mereka yang tak takut dibungkam dan tak tumbang ketika ditekan.
Dan yang paling penting adalah dimensi komunikasi. Ini bukan sekedar tentang siapa yang bisa berbicara di depan kelas. tapi lebih dari itu ini adalah tentang upaya melahirkan generasi yang berani menyuarakan kebenaran, menggugat ketidakadilan, dan menyebar semangat perlawanan demi tercipta dan terwujudnya bangsa dan negera Indonesia yang berkeadilan dan berkemakmuran, yang bebas dari praktik-praktik laknat seperti korupsi, kolusi, nepotisme dan perbudakan serta penyembahan terhadap kekuasaan dan oligarki. Artinya pendidikan harus melahirkan generasi yang berani berkata “Tidak” dan bertana “Kenapa?” pada kekuasaan, bukan malah membungkuk di depan kekuasaan yang mengkhianati rakyat.
Jika delapan dimensi ini benar-benar dijalankan, maka hasilnya bukan sekadar lulusan sekolah atau universitas. Hasilnya adalah generasi yang merdeka dan memerdekakan. Mereka yang tak bisa dibeli, Tak bisa ditakut-takuti, dan tak akan diam saat rakyat dan keadilan dipermainkan.
Pendidikan sejati tidak untuk melahirkan budak-budak ta’at dan naif, tapi untuk melahirkan genarasi yang serdas serta merdeka dan memerdekakan yang nantinya akan menjadi pemimpin perubahan. Dan perubahan sejati hanya lahir dari keberanian untuk menolak tunduk pada kebusukan.
Agama Islam menitahkan bahwa “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik” (QS. Ali Imran: 110) artinya pendidikan yang kita jalankan harus bermuara untuk melahirkan generasi terbaik, yang berani dan mampu memperjuangkan kebaikan yang di dalamnya termasuk keadilan dan juga mencegah kemungkaran serta melawan kebiadaban dan kezaliman.[]
Ramadhan Al Faruq adalah alumni IAIN Ar-Raniry dan juga Jubir Kaukus Paduli Integritas Pendidikan Aceh