Yang Tercemar Nama Baik Indonesia, bukan Jokowi !

Gambar cover majalah Tempo dengan wajah Jokowi

Permasalahan ijazah S1 UGM milik Jokowi yang diduga kuat palsu telah menyita perhatian luas. Meskipun berbagai kejanggalan telah diungkapkan secara ilmiah, kasus ini seperti berhadapan dengan tembok raksasa. Semua terasa seakan sia-sia.

Alih-alih menuntaskan masalah ijazah dengan memperlihatkannya ke publik, Jokowi malah mengancam para pengkritik untuk memprosesnya ke ranah hukum. Jokowi menilai mereka telah mencemarkan nama baiknya. Jokowi memposisikan diri sebagai korban.

Apa benar demikian?

Ijazah adalah dokumen yang digunakan Jokowi sebagai salah satu syarat mendapatkan jabatan pemerintahan mulai wali kota, gubernur hingga presiden. Semua jabatan yang untuk mendapatkannya itu harus dengan cara meminta mandat dari rakyat melalui pilkada atau pilpres.

Kalau ijazah yang digunakan itu benar-benar palsu, maka yang jadi korban bukan Jokowi, tapi rakyat. Karena Jokowi telah menipu rakyat dengan ijazah palsu tersebut untuk mendapatkan jabatan. Ini tentu saja belum termasuk berbagai asesoris tipuan lainnya seperti akting blusukan, masuk gorong-gorong, kartu-kartu, dan berbagai kebohongan lainnya.  

Intinya, yang korban adalah rakyat!

Juga tidak bisa disebut pencemaran nama baik dalam kasus ini. Para pengkritik tidak pernah menyerang pribadi atau menjelek-jelekkan Jokowi. Yang dipermasalahkan adalah ijazah yang diduga palsu. Ijazah yang telah digunakan untuk mendapatkan jabatan yang dengan jabatan itu dia menikmati berbagai fasilitas yang itu semua dibayar oleh rakyat.

Jadi, tidak ada pencemaran nama baik. Justeru Jokowi-lah yang mencemarkan nama baik UGM dan nama baik bangsa Indonesia jika dugaan ijazah palsu itu terbukti.

Harusnya Jokowi menyadari itu. Bahwa, dia bukan raja yang harus disembah. Bukan pula dewa yang harus dipuja-puja.

Jokowi harus punya sedikit jiwa rela berkorban. Tidak banyak yang diminta rakyat Indonesia, perlihatkan saja ijazah asli yang pernah digunakan untuk mendapatkan berbagai jabatan publik yang dengan jabatan itu dia dan keluarga telah menikmati berbagai fasilitas. Hanya itu.

Kalau tidak, permasalahan ini bisa menjadi bola liar yang menggelinding kemana-mana. Bukan tidak mungkin akan menimbulkan konflik horizontal dan memakan korban. Apakah itu yang diinginkan oleh seorang pemimpin?[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *