KONDISI realistis Aceh, saat ini, semakin memprihatinkan. Fakta empirik menyajikan, aktivitas ekonomi masyarakat mengalami stagnan. Mereka semakin terpojok, didesak aneka kesulitan.
Gambaran ini, sesungguhnya, sangat umum berlaku. Jika diamati secara seksama, aktivitas ekonomi ril, transaksi jual-beli masyarakat, tidak bergeliat secara normal. Terjadi kelesuan ekonomi.
Apa penyebabnya? Di samping tingkat kehidupan yang tidak berubah, jumlah uang yang beredar (velocity of money), transaksi sektor ekonomi formal dan informal terkendala oleh harga pasar yang sulit terjangkau. Hal ini dikarenakan kenaikan harga, inflasi, dan berbagai kutipan serta beban pajak sektor penjualan atau produsen.
Maka, dampak langsung (direct impact) dari kondisi ketidakseimbangan pasar, baik mikro maupun makroekonomi menyebabkan tidak terjadinya stimulus ekonomi. Aktivitas bisnis mengalami banyak kendala, termasuk sulitnya diversifikasi serta ekspansi usaha akibat terkendala modal (investasi), baik karena tingginya suku bunga uang/bank dan pengaruh timbal balik aktivitas bisnis usaha yang semakin lesu karena kesulitan ekonomi.
Di samping itu, para elite politik, birokrasi serta aktivitas pemerintahan, juga menjadi kendala utama transaksi serta usulan anggaran belanja publik yang berurusan dengan kebijakan fiskal dan moneter. Faktor itu memiliki ketergantungan yang luar biasa kepada keputusan pemerintah yang terpusat.
Kondisi anggaran belanja publik yang terkendala defisit anggaran sebesar Rp 102,3 triliun menjadi kedala utamanya, sehingga derivasi anggaran belanja publik ke daerah mesti mengikuti kebijakan fiskal dan moneter pusat. Akibatnya, anggaran belanja publik mengikuti keputusan politik anggaran belanja nasionsal diselaraskan dengan kepentingan politik pemerintah pusat Jakarta.
Fakta berikutnya adalah political policies dependent and interdependency depend of central policy yang menyandera elit daerah ini. Dalam “teori sinkronisasi”, partai politik dan kekuasaan mesti akur, tunduk, dan patuh ke pusat kekuasaan.
Dalam situasi terkini, birokrasi Aceh hanya sebatas melaksanakan tugas rutin, tanpa sesuatu yang bernilai. Sehingga, tidak mengherankan jika pada saat jam kerja mereka banyak berada di warung kopi, coffee, dan tempat keramaian lainnya.
Banyak kosekwensi logis dari semua ini. SDM yang tidak mampu berpikir dan mendapatkan jabatan secara karbitan mudah terjebak godaan korupsi. Maka tida heran kalau kemudian mereka “terjebak” dalam pola-pola hubungan transaksional dan tidak punya kesempatan untuk berpikir rasional seperti melaksanakan tugas-tugas meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Penyebab utama dari semua ini adalah karena manajemen pemimpin pemerintahan serta elite Pemimpin Aceh tidak memiliki kompetensi mengendalikan manajemen pemerintahan, kecuali banyak aktivitas bersifat pencitraan, upacara seremonial, dan tebar pesona. Sementara itu konsolidasi manajemen internal pemerintahan tidak dilaksanakan.
Kemudian, ditambah lagi akrobat, sirkus, konfigurasi serta konflik politik yang disajikan ikut menjadi pembicaraan rakyat secara meluas. Ini disebabkan nafsu-birahi kekuasaan, keserakahan serta kepentingan politik yang tidak berujung, tidak terkendali untuk memuaskan keinginan jabatan kekuasaan politik inter dan antar aktivitas politik.
Sesungguhnya, kebijakan keputusan politik dapat saja mengorbankan pihak lainnya, teman seiring, sepergaulan serta akan siap memangsa siapa saja, juga secara makropolitik dan ekonomi terhadap kehidupan rakyat. Sehingga dalam diskursusnya rakyat menyatakan bahwa, salah satu yang paling krusial tidak dapat dipercaya saat ini adalah para politisi.
Dengan demikian, jika alas berfikir elite pemimpin politik dan kekuasaan adalah politik, maka kepentingan politiknya jauh dari pada pro-rakyat. Kondisi ekonomi dan politik secara terpusat dari pemerintah pusat yang saat ini sangat kisruh, gaduh serta tidak mampu memberikan jaminan terhadap perubahan, perbaikan serta meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat.
Maka hal ini disebabkan ketergantungan Aceh dan Pemerintah Aceh sangat besar kepada pusat, mengikuti “patroness and client politics theory”, hubungan antara tuan dan cuan, maka dapat dipastikan kehidupan dan kondisi ril kehidupan rakyat Aceh berada di persimpangan jalan. Karenanya, teriakan dan bisikan hati ataupun desas-desus apapun akan sangat cepat berkembang dalam kehidupan rakyat akar rumput.
Hanya saja bagi para pemuja, tim sukses, para individu di lingkaran kekuasaan harus membelanya. Ini kewajiban mereka. Karena telah menikmati uang, fasilitas dan berbagai pemberian elite penguasa yang sejatinya juga berasal dari rakyat.
Berbagai terpaan kehidupan tidak menjajikan perubahan bagi rakyat Aceh saat ini. Maka dapat dipahami, bahwa Aceh sedang berada di persimpangan jalan.
Rakyat Aceh tidak perlu terlalu berharap para elite akan mampu memperbaiki situasi hari ini atau dalam jangka panjang.
Mereka sedang terus berebut kue anggaran belanja publik dengan berbagai rekayasa kemasan pro-rakyat. Sudah punya cara untuk mengamankan kerakusan mereka ketika berada di hadapan pengadil “Kemendagri” dengan segala argumentasi yang terdengar ilmiah.
Karenanya, tidak perlu terlalu bangga. Juga tidak perlu kecewa setelah menemukan fakta tentang pemimpin dan elite pilitik yang berkuasa “model” seperti hari ini.
Semua fakta tadi semakin mempertegas, bahwa Aceh sedang berada di persimpangan jalan. Isi kampanye tidak simetris dengan kenyataan yang ada.[]
Penulis; adalah pengamat kebijakan publik yang juga seorang akademisi yang berdomisili di Banda Aceh