PEMILIHAN kepala daerah (Pilkada) 27 Oktober 2024 langkah mundur demokrasi politik modern di Aceh. Kontestasi yang hanya menyediakan dua pasang calon telah menzalimi hak politik rakyat. Keinginan mereka untuk mendapatkan pemimpin yang ideal terpasung oleh pragmatisme dan ambisi para petualang politik.
Pola rekruitmen elit lokal juga terlalu kental dan kuatnya intervensi Pusat. Mereka terkesan menciptakan kolonialisasi politik pada Pilkada Aceh, sehingga peserta pemilihan gubernur hanya diikuti dua calon saja. Dengan skema itu, mereka dengan mudah bisa mengatur frekuensi dan hasrat/nafsu politik sentralistik.
Sesunguhnya, pilkada secara prinsipil hanyalah media untuk menyalurkan kepentingan politik Pusat, partai politik, dan kelompok tertentu saja. Dapat dipastikan bahwa, kepentingan politik dan hasrat rakyat Aceh agar tercipta perubahan ke arah lebih baik ke depan menjadi hampa, omong kosong, diabaikan sama sekali.
Jadi, visi-misi politik para calon gubernur/wakil gubernur hanya kamuplase semata, karena tetap diciptakan ketergantungan kepada kepentingan politik pusat yang mudah direkayasa melalui kebijakan yang dikendalikan.
Yang paling mendasar atau prinsipil adalah kualitas demokrasi politik Pilkada 2024 Aceh rendah, buruk, bahkan tidak berkualitas. Impac-nya adalah perubahan kehidupan serta tujuan untuk meningkatkan kemakmuran, kesejahteraan masyarakat yang adil dan merata tidak akan terwujud. Karena gubernur/wakil gubernur terpilih 2024 diperkirakan bakal tunduk dan patuh kepada kepentingan Pemerintah Pusat.
Sebagaimana rujukan teori “patront and client” hanya merupakan tuan dan cuan. Pemimpin dan elite Aceh menghamba kepentingan politik Pemerintah Pusat di Jakarta. Para calon guberbur/wakil gubernur hasil rekayasa konkrit pemerintahan sentralistik Jakarta, agar Aceh tetap dalam genggaman kekuasaan elit Pusat. Para pemimpin dan elite Aceh hanya memenuhi keinginan, hasrat, nafsu politik kekuasaan sentralistik pemerintahan pusat.
Sementara itu rakyat Aceh, kebanyakan terpragmentasi, terjadi friksi pada dua kelompok besar, berlaku gesekan minimal secara verbal. Jika tidak diantisipasi secara cerdas dan bijaksana, kondisi itu akan menciptakan konflik horizontal, dan atau ini juga keinginan pemerintah pusat yang paling strategis terhadap Aceh? Jadi, selalu dalam kondisi konflik, ibarat politik “adu-domba” yang menguntungkan penjajahan kolonial, sehingga selalu tidak mampu berubah, adil, makmur dan sejahtera, masyarakatnya menjadi lebih baik.
Tokoh masyarakat, para ulama, para cerdik-pandai dan intelektual dan kelompok kelas menengah agar bersana-sama menghadapi potensi konflik dan keterbelahan kehidupan masyarakat secara arif dan bijaksana. Demikian juga usaha yang berulang kali secara serius dilakukan oleh Pusat untuk menciptakan kondisi Aceh tidak aman, tidak harmonis, dan damai melalui alat, instrumen politik Pilkada Aceh 2024 harus dilawan.
Insan aktivis harus melakukan perlawanan terhadap Pemerintah Pusat dari usaha praktik kolonialisme pilitik, dengan cara bijaksana, cerdas dan eleganisa. Agar Aceh sebagai sebuah peradaban kehidupan tua dan bisa bertamaddun secara lebih baik.
Kemunduran demokrasi politik modern di Aceh terjadi akibat Serambi Mekkah tidak memiliki “strong leader”, tidak menjalin hubungan baik dengan tokoh masyarakat, ulama Aceh, para intelektual dan akademisi, serta aktivis tanpa syarat kepentingan politik. Sehingga segala sesuatu yang dikendaki bagi para pemimpin politik dan elite partai politik dipenuhi, asal ACEH TIDAK MINTA MERDEKA.
Makanya konspirasi jahat untuk mengobrak-abrik kepentingan politik, aturan hukum, UUPA dan Pilkada Aceh ini dilakukan dengan menghalalkan segala cara. Wallahu’alambissawab.
Penulis: alumni IAIN Ar-Raniry Banda Aceh