PESTA demokrasi di tingkat lokal, hari ini, 27 Agustus 2024, secara resmi dimulai di Aceh. Komisi Pemilihan Independen (KIP) provinsi dan kabupaten/kota mulai menerima pendaftaran bakal calon kepala daerah. Layaknya sebuah pesta, mereka pun bergembira.
Di daerah lain di Tanah Air, penyelenggara pilkada belum bisa melakukan hal yang sama. Mereka terkendala aturan setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah syarat threshold (ambang batas) pencalonan kepala daerah.
Karena KPU belum menyesuaikan aturan dengan putusan hukum yang baru tersebut, proses pendaftaran bakal calon kepala daerah sedikit terkendala. Para calon kepala daerah di luar Aceh belum bisa mendaftarkan diri.
Aceh tidak. Daerah ini jalan terus, karena mengacu pada aturan lex specialis Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Di sinilah uniknya — kalau tidak boleh disebut plin-plan — Aceh. Di awal, mereka mengabaikan UUPA, ketika menguntungkan baru merujuk undang-undang ini.
Jika konsisten berpegang kepada UUPA, sebenarnya tidak ada pilkada pada 2024 di Aceh. Sebab, pasal 65 ayat 1 UUPA menyatakan, bahwa pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali.
Bunyi pasal tersebut jelas dan gamblang. Tidak ada yang perlu diperdebatkan tafsirannya sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan undang-undang tersebut. “Pasal 65 cukup jelas.”
Jadi, jika merujuk UUPA, pilkada Aceh harusnya sudah dilakukan pada tahun 2022. Harusnya pula hal ini dipahami oleh semuanya, baik pemerintah, partai politik maupun penyelenggara pilkada. Apakah tidak disadari, bahwa mereka secara berjamaah telah melanggar undang-undang?
Hari ini, undang-undang seperti jadi mainan. UUPA digunakan mana kala dirasa menguntungkan. Sebaliknya, akan diabaikan jika merugikan secara politik. Mereka tanpa sadar sudah membodohi rakyat dengan memperlakukan UUPA semakin tidak bermakna.
Demikian juga, jika merujuk kepada revisi aturan Pilkada pasca keputusan MK Nomor 12/PUU/2024, maka jadwal pemungutan suara dilakukan pada 27 Nopember 2024. Ini bermakna, memberi peluang bagi bertambahnya jumlah calon gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota. Dengan demikian, jika benar-benar ingin menegakkan demokrasi modern sesuai aturan, maka tidak usah membunuh demokrasi di Aceh.
Jika fair dan adil, tidak tertutup kemungkinan jumlah kontestan yang mengikuti pilkada Aceh bisa bertambah. Jadi untuk calon gubernur/wakil gubernur tidak hanya dua paket, sehingga iklim demokrasi benar-benar berwarna. Jangan membatasi calon jika konsisten demokrasi politik modern berlangsung di Aceh.
Jangan juga berlagak otoriter dan menerapkan abbused of power, seolah-olah kekuasaan politik di Aceh hanya milik kelompok tertentu, seakan-akan hanya wewenang partai politik saja.
Pilkada memiliki tahapan pelaksanaan, juga tertib secara aturan hukum, UU, etika-moral, dan juga sistem demokrasi politik. Maka, calon juga mesti mengikuti semua aturan itu, baik tahapan pendaftaran, permasalahan administratif, dan persyaratan lainnya. Sehingga tidak ada calon yang tidak mendapatkan hak yang sama untuk mendaftarkan diri karena terganjal gara-gara alasan yang tidak adil tadi.
Pilkada Aceh hendaknya bebas dari tekanan elit dan “”cawe-cawe”” perilaku politik otoriter rezim “Raja Jawa”. Jika calon ramai dan lebih dari dua, maka rakyat Aceh dapat menentukan serta memilih sesuai hati nuraninya, meskipun ada usaha membatasi calon serta menggunakan aturan yang tidak jelas serta konsisten menggunakan dasar hukum atau aturan Pilkada Aceh “sesuka hati” penyelenggara.
Pilkada Aceh jangan membunuh demokrasi dengan mengikuti keinginan dan kepentingan politik orang atau kelompok tertentu. Jangan sampai pesanan atau “by order” membatasi calon peserta Pilkada. Itu perbuatan zalim.[]