PUBLIK (baca: rakyat jelata) ikut latah membahas isu pemotongan anggaran oleh pemerintah Pusat. Di warung kopi dan media sosial, mereka sibuk membicarakannya.
Ngapaian sibuk membahas masalah pemotongan anggaran? Toh, selama ini, yang dilabel sebagai belanja publik itu justeru sebagian besar tidak dimanfaatkan sesuai judul. Bukan untuk kepentingan publik.
Belanja publik justeru banyak dihabiskan untuk belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja fasilitas dan tunjangan jabatan, biaya perjalanan dinas, dan lain sebagainya.
Sekitar 70 bahkan hingga 80 persen terserap digunakan untuk birokrasi. Sehingga, yang dinikmati rakyat dari nomenklatur yang mengatasnamakan mereka juga tidak signifikan. Padahal, selama ini, nominalnya selalu mengalami peningkatan.
Mengapa harus ikut-ikutan sibuk membicarakan pemotongan anggaran belanja publik, baik Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah-Aceh (APBD-A)?
Sungguh naif para elite politik, pejabat publik, eksekutif, dan legislatif yang menuntut kenaikan anggaran belanja publik di tengah upaya pemerintah melakukan efisiensi. Seperti Aceh yang selama ini dengan kucuran lebih dari Rp 100 triliun, tidak terlihat efeknya sama sekali. Tidak terlihat perubahan pembangunan serta peningkatan stimulus ekonomi rakyat dengan anggaran sebesar itu.
Seluruh anggaran belanjanya dinikmati para elite politik, birokrasi, eksekutif dan legislatif, bahkan yudikatif dengan berkembangnya aliran dana otonomi khusus dan belanja daerah Aceh lainnya ke instansi vertikal. Demikian juga beberapa lembaga ataupun badan yang memanfaatkan anggaran belanja, baik APBN maupun APBD-A hanya untuk memperkaya para pengelola, birokrasi dan manajemen badan dan lembaga yang beroperasi menggunakan anggaran belanja dari negara.
Sementara itu, peran dan fungsinya untuk mensejahterakan rakyat sama sekali tidak ada, hanya memanfaatkan anggaran untuk menambah pundi-pundi kekayaan, inefisiensi anggaran, bahkan cenderung melakukan memanfaatkan perjalanan dinas, praktik korupsi dalam konteks kolusi, korupsi dan nepotisme bersama dalam membangun transaksional politik antara elite politik dan oligarkinya.
Sesungguhnya dalam sistem anggaran belanja publik yang berlaku dengan menggunakan system balance budget, negara melaksanakan serta menganggarkan pengeluaran/belanja (spending) lebih dahulu, baru kemudian diusahakan untuk penerimaannya (revenue). Maka, tidak mengherankan jika berlaku deficit budget pada pertengahan tahun anggaran, karena perencanaan awal target penerimaan (revenue) tidak tercapai atau terpenuhi, maka dilakukan public policy perubahan anggaran belanja.
Saat menyusun anggaran, proyeksi penerimaan diperkirakan dari sektor produksi (masyarakat, swasta dan pemerintah), penerimaan dari selisih ekspor (baik minyak dan gas bumi/migas, bahan mineral lainnya, dari sektor perkebunan, kehutan, perikanan sumber daya alam lainnya) dan paling efektif adalah melalui pengenaan pajak, baik langsung maupun tidak langsung (pajak pendapatan, pertambahan nilai, penjualan, retribusi dan lainnya).
Maka penetapan fiscal and monetary policy yang dilakukan oleh pemerintah, ini menunjukkan bahwa, kondisi keuangan negara sejak awal sudah diperkirakan tidak baik-baik saja. Yang sangat strategis telah dianalisis adalah, selama ini demikian berkembangnya inefisiensi anggaran, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), pencurian kekayaan negara, bocornya penerimaan yang tidak masuk kedalam kas negara.
Karena itu, kebijakan fiscal and monetary policy dengan pemangkasan anggaran menunjukkan, bahwa selama ini rakyat jelas-jelas tidak mendapatkan manfaat dari pengeluaran anggaran belanja yang dikucurkan oleh negara, melalui belanja publik yang hanya memenuhi kepentingan politik memanfaatkan anggaran bersama para oligarki ekonomi dan politiknya saja.
Sementara itu, jika dipaksakan maka yang paling menderita adalah rakyat. Fiscal and monetary policy yang dianggap paling efektif adalah menaikkan serta pengenaan pajak yang lebih tinggi lagi, maka rakyat tetap menderita di samping pajak yang dikenakan oleh pemerintah juga penggeseran beban pajak swasta kepada rakyat dengan cara menaikkan harga barang dan jasa di pasar.
Makanya, jangan latah memprotes pemangkasan anggaran belanja, baik APBN dan APBD-A, karena yang menderita tetap rakyat. Kemiskinan dan pengangguran tetap menjadi primadona. Sementara itu, para elite politik, birokrasi, eksekutif, legislatif, dan yudikatif terus menumpuk kekayaan dengan cara menghabiskan anggaran belanja publik.
Demikian juga secara kuantitatif, bahwa di tahun 2024 PDB Indonesia mencapai Rp22.139 triliun, meningkat dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp 20.892 triliun. Dengan demikian ekonomi Indonesia tahun 2024 tumbuh sebesar 5,03 persen, melambat dibanding capaian tahun 2023 yang mengalami pertumbuhan sebesar 5,05 persen (c-to-c).
Dari sisi produksi, pertumbuhan tertinggi berlaku terhadap lapangan usaha jasa lainnya, 9,80%. Sementara itu pertumbuhan tertinggi dari sisi pengeluaran diperoleh dari pengeluaran konsumsi lembaga nonprofit yang melayani rumah tangga sebesar 12,48%. Di mana ekonomi Indonesia triwulan IV-2024 terhadap triwulan IV-2023 mengalami pertumbuhan sebesar 5,02 persen (y-on-y).
Dari sisi produksi, lapangan usaha jasa lainnya mengalami pertumbuhan tertinggi sebesar 11,36 persen. Sementara itu, komponen ekspor barang dan jasa pada sisi pengeluaran mengalami pertumbuhan tertinggi sebesar 7,63 persen.
Terhadap kondisi Aceh, perekonomian Aceh berdasarkan besaran Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku triwulan IV-2024 mencapai Rp 65,36 triliun dan atas dasar harga konstan 2010 mencapai Rp 40,85 triliun. Pada triwulan ketiga 2024, PDRB Aceh atas dasar harga berlaku meningkat menjadi Rp 61,03 triliun, sedangkan PDRB atas dasar harga konstan juga naik menjadi Rp 38,50 triliun.
Sementara itu, distribusi PDRB Aceh berdasarkan lapangan usaha masih didominasi oleh sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan yang mencapai 29,74 persen. Sektor perdagangan besar dan eceran, serta reparasi mobil dan sepeda motor menyusul dengan kontribusi sebesar 14,94 persen, diikuti sektor konstruksi sebesar 9,07 persen, dan administrasi pemerintahan sebesar 9,04 persen.
Semestinya jika memang orientasi anggaran untuk kepentingan mendasar rakyat (basic sector) perhatian pemerintah Aceh mesti tertuju kepada kepentingan pertumbuhan serta pemenuhan kebijakan anggaran publik untuk rakyat. Selanjutnya, bahwa pertumbuhan ekonomi triwulan ketiga yang paling tinggi disumbang oleh sektor transportasi dan pergudangan sebesar 1,31 persen, diikuti oleh sektor perdagangan besar dan eceran serta reparasi mobil dan sepeda motor sebesar 0,62 persen, dan sektor keuangan serta asuransi sebesar 0,60 persen.
Karena itu, banyak yang mendapatkan sitiran dan realistic, bahwa anggaran belanja banyak digunakan untuk kepentingan belanja pegawai, belanja barang dan kasa serta memanfaatkan untuk biaya perjalanan dinas dari total anggaran sekitar 70-80%.
Sementara itu terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) ilustrasinya kuantitatif tergambarkan, bahwa realisasi APBN Regional Aceh, baik dari sisi penerimaan maupun pengeluaran. Aceh melaporkan kinerja APBN Regional Aceh s.d. 31 Juli 2024 yaitu total pendapatan tercatat R3,69 T (52,68%) dan total belanja Rp28,85 T (58,33%).
Karena itu, bukan tanpa alasan analisis yang mendalam terhadap kepentingan ekonomi rakyat terhadap fiscal and monetary policy pemotongan ataupun pemangkasan anggaran belanja yang selama ini tidak dinikmati serta tidak menjadi stimulus ekonomi rakyat.
Hal ini jelas-jelas, bahwa ketergantungan dalam sistem politik sentralistik yang berlaku secara nasional dan Aceh, akan terus dimanfaatkan melalui penetapan anggaran belanja publik yang paling menentukan adalah Pemerintah Pusat Jakarta dengan berbagai pertimbangan dan alasan rasional ekonomi dan kebijakan fiskal dan moneter. Jadi, ngapain ikut-ikutan latah merisaukan pemotongan anggaran?[]
Penulis: akademisi dan pengamat kebijakan publik berdomisili di Banda Aceh