MENURUT Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), islah artinya perdamaian (tentang penyelesaian pertikaian dan sebagainya). Tidak butuh tafsir lagi. Karena itu, tidak perlu naik gunung turun bukit menemui “pendekar sakti” untuk memahami makna kata ini. KBBI saja sudah cukup.
Jika perlu terjemahan lebih panjang coba buka Wikipedia. Ensiklopedia bebas ini menjelaskan makna islah lebih lengkap. Menurut kamus ini, islah dalam kajian hukum Islam adalah memperbaiki, mendamaikan, dan menghilangkan sengketa atau kerusakan.
Islah berkaitan dengan usaha menciptakan perdamaian; membawa keharmonisan; menganjurkan orang untuk berdamai antara satu dan lainnya; melakukan perbuatan baik; berprilaku sebagai orang suci (baik).
Banyak peristiwa di masyarakat yang bisa diselesaikan secara islah. Untuk skop kecil di Aceh, ada dua kasus yang berhasil diselesaikan dengan pendekatan yang mirip seperti islah. Dalam kasus pidana disebut restorative justice.
Yang pertama, kasus pengeroyokan siswa SMAN Modal Bangsa dan, kedua, perseteruan antara mahasiswa Aceh Barat Daya dengan mahasiswa Aceh Tengah baru-baru ini. Kedua kasus ini memiliki indikasi pidana. Yang di Modal Bangsa terkait dengan penganiayaan, demikian pula kasus bentrok mahasiswa kedua daerah.
Kasus unjuk rasa di Universitas Gajah Putih (UGP) Takengon yang sudah melebar kemana-mana, meskipun sudah terjadi aksi saling lapor polisi antara yayasan, rektorat, dan kalangan dosen, mungkin belum ada indikasi pidana di sana. Tapi, apa yang disarankan oleh LLDikti (Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi) agar dilakukan islah dalam penyelesaian kisruh, mungkin, pendekatan ini mirip-mirip restorative justice.
LLDikti menyarankan agar pihak yang bertikai di UGP melakukan islah. Berdamai. Tidak perlu ada yang merasa paling benar. Yang disarankan islah, bukan mencari Plt rektor.
Seperti kata petinggi LLDikti, kisruh itu adalah urusan domestik UGP. Kurang elok dibawa kemana-mana.
Pihak di luar UGP pun kurang pada tempatnya ketika ingin ikut campur terlalu jauh. Apa urusannya, coba?
Tak perlu ada yang, misalnya, merasa sebagai pihak paling berjasa telah membangun PTS tersebut. Kalau pun ada sarana/prasarana yang dibangun dengan anggaran pemerintah di sana, tidak perlu juga ada sikap arogan dan mengeluarkan kata-kata ancaman akan menarik kembali aset.
Memangnya pemerintah mendapatkan uang dari mana untuk membangun UGP? Apakah menjual emas atau kebun?
Pemerintah itu mengelola anggaran negara yang dikumpulkan dari mengeruk hasil bumi dan pajak rakyat. Jadi, wajar kalau hasilnya dikembalikan ke rakyat dalam bentuk investasi melalui lembaga-lembaga pendidikan, misalnya.
Pemerintah itu bukan juragan atau toke! Pemerintah itu pelayan atau fasilitator.
UGP harus diselamatkan, dibangun kembali sesuai semangat para pendirinya. Makanya, islah!