News  

Perjalanan Hidup Ketua KPU, Rata-rata Berakhir Tragis

KEKUASAAN sering kali datang bersama cahaya sorotan. Dan, tidak jarang berubah menjadi bayang-bayang gelap yang menelan nama besar seseorang.

Hal itu pula yang terjadi pada para Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Indonesia. Lembaga yang mestinya menjadi penjaga kemurnian demokrasi, justru berkali-kali diguncang prahara.

Ironisnya, tokoh-tokoh yang pernah duduk di kursi pimpinannya hampir selalu berakhir dalam skandal. Macam-macam kasusnya, mulai korupsi hingga asusila.

Baca juga: Terbongkar !!! Penggunaan Private Jet Oleh KPU bukan untuk Kepentingan Pemilu

Kisah ini bukan sekadar daftar nama. Ini adalah perjalanan naik-turun demokrasi Indonesia, yang diwarnai idealisme, tekanan kekuasaan, hingga pelanggaran yang membuat publik bertanya: apa yang sebenarnya terjadi di balik tirai penyelenggaraan pemilu?

Nazaruddin Sjamsuddin; dari akademisi terhormat, menjadi narapidana korupsi

Nazaruddin datang dari lingkungan akademik, dikenal sebagai tokoh cerdas dengan gagasan reformasi pemilu. Pada 2001, ia terpilih sebagai Ketua KPU di masa transisi demokrasi, membawa harapan baru setelah rezim Orde Baru tumbang. Namun harapan itu hanya bertahan beberapa tahun.

Baca juga: Pemilu yang Bikin Pilu

Pada 2005, ia ditangkap dan diadili atas dugaan korupsi proyek pengadaan asuransi kecelakaan anggota KPU. Negara disebut dirugikan miliaran rupiah. Nazaruddin akhirnya divonis tujuh tahun penjara. Publik tercengang: lembaga yang seharusnya mengawal suara rakyat ternyata dihuni pemimpin yang justru menyalahgunakan wewenang. Di balik jeruji besi, nama besarnya memudar. Kasus ini menjadi pelajaran pahit pertama tentang rapuhnya integritas penyelenggara pemilu.

Abdul Hafiz Anshari; Ketua KPU yang terseret dugaan pemalsuan dokumen suara

Ketika Anshari memegang posisi Ketua KPU (2007–2012), ia memimpin pada masa pemilu legislatif dan presiden 2009. Berbeda dari Nazaruddin, kasus yang menyeret namanya bukan korupsi, melainkan dugaan pemalsuan sertifikat hasil penghitungan suara pada Pilkada Halmahera Barat.

Kasus itu menyeruak, laporan disampaikan ke Kejaksaan Agung, dan nama Anshari ramai menjadi tajuk pemberitaan. Meski proses hukum tidak sepenuhnya bergulir hingga putusan pidana, reputasinya tercoreng. Dari meja sidang etik hingga sorotan publik, namanya tidak lagi lepas dari kontroversi. Bukan penjara yang menjadi akhir kisahnya—tetapi perdebatan tentang moralitas penyelenggara pemilu yang menggerus wibawa KPU.

Husni Kamil Manik; Pemimpin yang bersih tersandung kasus berat yang hidupnya berakhir tragis

Berbeda dari pendahulunya, Husni datang dengan ketenangan dan profesionalisme. Ia memimpin jalannya Pemilu 2014—salah satu kontestasi terpanas dalam sejarah Indonesia modern. Ia tidak pernah didakwa secara pidana, namun tetap sempat mendapatkan peringatan etik akibat tindakan membuka kotak suara di luar prosedur.

Kisah Husni berakhir di luar dugaan. Pada Juli 2016, ia wafat karena infeksi berat, meninggal di tengah masa jabatan dan persiapan menuju tahapan awal pemilu berikutnya. Kepergiannya mengejutkan, sekaligus menandai satu-satunya Ketua KPU yang pergi bukan karena skandal, melainkan takdir.

Arief Budiman; Nama besar yang ikut terseret pusaran suap politik

Arief menjabat di masa Pemilu 2019; periode yang penuh tekanan politik dan logistik pemilu yang rumit. Ia dikenal teknokratik, rapi, dan cukup modern dalam gaya kepemimpinan.

Tetapi 2024 membuka bab baru. Kasus dugaan suap terkait pencalonan anggota legislatif menyeret sejumlah nama termasuk politisi besar. Arief menjadi salah satu tokoh yang dipanggil sebagai saksi oleh KPK. Fenomena itu memicu pertanyaan publik: apakah jaringan korupsi itu juga melibatkan pimpinan KPU? Meski ia tidak berstatus tersangka, skandal itu meruntuhkan citra yang selama bertahun-tahun ia bangun.

Hasyim Asy’ari; Dari puncak jabatan ke pemberhentian karena kasus etik dan pelecehan

Lalu tibalah bab paling kelam: kasus Ketua KPU Hasyim Asy’ari. Sejak dilantik pada 2022, ia beberapa kali mendapat teguran etik. Namun pada 2024, DKPP menjatuhkan putusan paling keras: pemberhentian tetap dari jabatan Ketua KPU, setelah Hasyim terbukti melakukan pelanggaran etik berat, termasuk dugaan pelecehan seksual terhadap anggota penyelenggara pemilu luar negeri.

Bagi publik, ini seperti kilat yang menyambar langit demokrasi. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, seorang Ketua KPU dicopot karena kasus moral dan kekuasaan yang disalahgunakan atas bawahan. Isu ini bahkan dikabarkan berpotensi berlanjut ke ranah pidana.

Benang Merah yang Menyayat

Jika disatukan, kisah ini melukiskan ironi besar. Dari lima ketua KPU, hanya satu yang tidak terjerat skandal besar yang meninggal sebelum masa jabatannya selesai.

Ada yang dipenjara, ada yang terseret dugaan pemalsuan, ada yang roboh karena dugaan pelecehan, dan ada yang namanya tenggelam dalam pusaran skandal politik.

Ironi suara rakyat

Demokrasi membutuhkan penjaga yang kuat, namun kisah-kisah ini justru memperlihatkan betapa rentannya benteng pengawal suara rakyat. Kursi Ketua KPU tampak membawa beban berat: godaan kekuasaan, tekanan politik, dan sistem internal yang kerap gagal menegakkan disiplin dan kehormatan lembaga.

Ketika suara rakyat sudah diberikan, publik berharap kejujuran menjadi dasar penyelenggaraan pemilu. Namun sejarah menunjukkan: suara rakyat bisa saja bersih, tetapi mereka yang mengurusnya—tidak selalu demikian.

Dan mungkin, inilah ironi paling pahit. Integritas pemilu Indonesia tidak hanya ditentukan oleh undang-undang, tetapi oleh moral manusia yang duduk di kursi puncak.[]

Logo Korpri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *