DI TENGAH duka nasional akibat banjir besar di Sumatera, ada tragedi lain yang nyaris luput dari empati publik yaitu kematian tragis karier politik Ridwan Kamil (RK). Tidak ada sirene, tidak ada status bencana nasional, tapi dampaknya nyata yaitu satu figur politik besar nasional yang tumbang dalam sekejap.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengadili moral personal. Saya tidak tertarik pada gosip asmara, wanita seperti apa yang dicari RK yang membuat dia rela “mengkhianati” Bu Cinta?. Bahkan jika semua itu benar dan berdosa, itu wilayah privat antara individu dan Tuhannya.
Politik tidak bekerja di sana. Yang justru penting adalah satu pertanyaan sederhana tapi berbahaya yaitu mengapa kehancuran RK ini dibiarkan, dan mengapa begitu banyak pihak tampak baik-baik saja, bahkan diuntungkan?
Sebagai seseorang yang pernah bersentuhan, meski sejenak, dengan dunia politik, saya melihat kejatuhan Ridwan Kamil bukan sebagai skandal personal, melainkan sebagai peristiwa kekuasaan.
Dalam politik, kematian karier jarang bersifat alamiah. Ia hampir selalu hasil dari keputusan, pembiaran, atau rekayasa.
Dalam dunia gangster Jepang dikenal istilah darah masuk dan darah keluar. Untuk masuk, seseorang harus membuktikan loyalitasnya. Untuk keluar, ia harus mati. Politik bekerja dengan logika serupa, hanya lebih halus dan lebih beradab di permukaan.
Dalam politik, tidak ada kejatuhan yang sepenuhnya kebetulan. Yang ada hanyalah momentum yang dipilih, kepentingan yang dijaga, dan aktor-aktor yang diuntungkan.
Mari kita kembali ke musim politik 2024. Ridwan Kamil adalah petahana Jawa Barat, provinsi dengan jumlah pemilih raksasa dan tingkat elektabilitas yang relatif aman. Meski gagal maju sebagai cawapres, namanya tetap termasuk yang paling menonjol di Golkar. Secara kalkulasi sederhana, bertahan di Jawa Barat hampir pasti memperpanjang napas politiknya.
Namun yang terjadi justru sebaliknya.RK dipindahkan dari basis aman ke DKI Jakarta, yang merupakan medan paling brutal dalam politik elektoral Indonesia. Anehnya, setelah didorong ke sana, ia tidak pernah benar-benar diperlakukan sebagai jagoan utama. Dukungan tampak setengah hati, mesin politik tidak sepenuhnya digerakkan, dan narasi kemenangan nyaris tak pernah dibangun dengan serius.
Dari sini, satu kesimpulan sulit dihindari yaitu ini bukan promosi, melainkan relokasi untuk pembunuhan karir politik secara pelan-pelan.
Sebab jika RK bertahan di Jawa Barat dan menang lagi, ia akan menjadi figur yang terlalu kuat. Dan dalam politik, figur yang terlalu kuat sering kali lebih berbahaya bagi kawan dibanding lawan. Politik tidak mengenal dua matahari dalam satu langit, terlebih jika matahari itu tidak sepenuhnya bisa dikendalikan.
Pertanyaan berikutnya menjadi krusial adalah mengapa Golkar rela melepas Jawa Barat dan “mengorbankan” RK ke DKI?
Jawabannya kemungkinan tidak sesederhana strategi elektoral. Di dalam tubuh Golkar sendiri, Ridwan Kamil adalah aset yang berpotensi berubah menjadi ancaman. Populer, punya rekam kemenangan, diterima lintas segmen pemilih, kombinasi ini berbahaya bagi elite partai yang lebih nyaman menjadi satelit kekuasaan ketimbang poros kekuatan mandiri.
RK yang menang lagi di Jawa Barat adalah RK yang punya modal untuk menuntut lebih, pengaruh internal, posisi strategis seperti ketua umum, atau bahkan tiket kontestasi nasional di masa depan seperti Capres atau Cawapres. Dalam partai yang sudah lama jinak, kader semacam ini bukan aset, melainkan ancaman.
Situasi ini makin relevan jika dikaitkan dengan konfigurasi kekuasaan baru pasca-2024, kedekatan Golkar dengan pusat kekuasaan, dan spekulasi tentang siapa kendaraan politik yang akan dipakai figur tertentu di masa depan. Dalam peta seperti itu, RK bukan sekadar tidak dibutuhkan, ia berpotensi mengganggu keseimbangan yang sedang dirancang.
Maka RK harus disingkirkan. Bukan dengan ledakan besar, bukan dengan kasus hukum yang bisa menyeret banyak nama, tapi dengan cara paling bersih: skandal personal.
Isu asmara adalah senjata politik yang sempurna. Ia menghancurkan citra tanpa menghancurkan struktur. Ia membunuh satu karier tanpa membuka jaringan. Ia memastikan yang mati hanya satu orang.
Bandingkan jika jalurnya korupsi. Dalam sistem politik Indonesia, korupsi hampir mustahil dilakukan sendirian. Ada aliran dana, ada jejaring, ada penikmat lain. Jika itu dibuka, terlalu banyak pihak bisa ikut terseret. Dan itu jelas bukan kepentingan mereka yang ingin tetap aman dan tetap berkuasa.
Singkatnya, ini bukan bom nuklir yang memusnahkan satu kota. Ini operasi senyap yang presisi, yang hanya membunuh satu figur, menyelamatkan banyak kepentingan.
Karena itu, pertanyaan “apakah ini benar atau tidak?” menjadi kurang relevan. Politik jarang peduli pada kebenaran absolut. Pertanyaan yang jauh lebih penting adalah: siapa yang diuntungkan?
Dan dalam politik, jawaban atas pertanyaan itu sering kali lebih mendekati kebenaran dibanding pengakuan siapa pun.
Ridwan Kamil mungkin jatuh karena urusan personal. Tapi kejatuhannya terlalu tepat waktu, terlalu rapi, dan terlalu fungsional untuk disebut kebetulan.
Di republik ini, jika sebuah kehancuran terasa begitu efisien dan begitu menguntungkan banyak elite, maka besar kemungkinan ia bukan kecelakaan, melainkan bagian dari desain.
Seperti kata orang bijak: dalam politik tidak ada yang kebetulan. Jika sesuatu terlihat benar-benar seperti kebetulan, justru di situlah kita patut curiga, karena kemungkinan besar semuanya sudah direncanakan.[]
Penulis merupakan alumni UIN Ar-Raniry Darussalam, Banda Aceh












