KabarAktual.id — Uni Eropa melalui Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei Darussalam secara resmi menanggapi surat protes dan permohonan dialog yang disampaikan akademisi Universitas Malikussaleh (Unimal), Nazaruddin MAP, terkait bencana banjir di Aceh dan Sumatra serta penerapan European Union Deforestation Regulation (EUDR).
Surat balasan Uni Eropa tertanggal 19 Desember 2025 itu ditandatangani oleh Sander Happaerts, Penasihat Lingkungan dan Digital Uni Eropa, atas nama Komisi Eropa. Dalam surat tersebut, Uni Eropa menyampaikan belasungkawa mendalam atas bencana banjir yang menimbulkan korban jiwa, luka-luka, serta kerusakan material dalam skala besar di Sumatra.
Menanggapi substansi surat Nazaruddin, Uni Eropa menegaskan bahwa EUDR merupakan inisiatif kunci dalam upaya memerangi deforestasi global. Komisi Eropa, disebutkan dalam surat itu, tetap berkomitmen penuh terhadap tujuan-tujuan ambisius regulasi tersebut. “Kerja sama dengan negara ketiga merupakan prioritas berkelanjutan bagi kami,” tulis Delegasi Uni Eropa dalam surat balasannya.
Uni Eropa juga menjelaskan bahwa EUDR telah melalui proses konsultasi yang ekstensif sejak tahap perumusan. Proses tersebut melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk negara-negara mitra seperti Indonesia.
Sejak 2020, Komisi Eropa disebut telah membentuk Platform Multi-Pemangku Kepentingan tentang Perlindungan dan Pemulihan Hutan Dunia yang melibatkan pemangku kepentingan, peneliti, serta negara ketiga. Sejumlah pertemuan platform tersebut berlangsung sebelum, selama, dan setelah proses legislasi hingga adopsi EUDR pada Juni 2023.
Selain itu, Uni Eropa turut mengingatkan komitmennya dalam Kerangka Strategis Kerja Sama Internasional yang diumumkan pada Oktober 2024. Dalam setahun terakhir, Komisi Eropa mengklaim telah meningkatkan dialog dengan negara-negara mitra, termasuk Pemerintah Indonesia.
Delegasi Uni Eropa menyatakan akan terus mendengarkan dan menanggapi berbagai kekhawatiran yang berkembang serta siap memberikan klarifikasi lebih lanjut terkait implementasi EUDR.
Sebelumnya, Nazaruddin MAP—dosen kebijakan publik Program Studi Administrasi Publik, FISIP Universitas Malikussaleh—mengirimkan surat elektronik tertanggal 8 Desember 2025 kepada Uni Eropa. Surat tersebut berisi permohonan dialog dan peninjauan kritis terhadap penerapan EUDR yang dinilai berkontribusi terhadap krisis ekologis dan bencana banjir di Aceh dan Sumatra.
Dalam surat itu, Nazaruddin menyebut banjir besar yang menewaskan ribuan orang dan mengungsikan lebih dari 1,5 juta jiwa bukan semata bencana alam, melainkan bencana ekologis akibat deforestasi yang dilegalkan melalui berbagai izin. “Puluhan ribu kayu gelondongan bernomor dan berizin yang hanyut dalam banjir membuktikan bahwa tragedi ini adalah kehancuran yang direncanakan dan dilegalkan,” tulis Nazaruddin.
Ia juga menyoroti kerusakan hutan di kawasan strategis seperti Ekosistem Leuser dan Hutan Batang Toru yang telah dialihfungsikan menjadi perkebunan komoditas, seperti kelapa sawit, karet, dan kakao. Komoditas tersebut, menurutnya, sebagian besar masuk ke pasar global, termasuk Uni Eropa.
Berdasarkan data World Resources Institute (WRI), Sumatra disebut telah kehilangan sekitar 1,2 juta hektare hutan primer dalam dua dekade terakhir, terutama akibat ekspansi perkebunan.
Nazaruddin mengkritik EUDR yang dinilai terlalu menekankan kepatuhan administratif dan legalitas dokumen, sehingga berisiko menjadi instrumen “greenwashing” birokratis dan gagal menangkap realitas kerusakan ekologis di lapangan.
Dalam suratnya, ia mengajukan sejumlah tuntutan, antara lain investigasi independen dan transparan atas asal-usul kayu bernomor yang ditemukan di lokasi bencana, memasukkan data satelit serta verifikasi lapangan independen dalam mekanisme uji tuntas EUDR, serta menetapkan kawasan bernilai konservasi tinggi seperti Leuser dan Batang Toru sebagai wilayah berisiko sangat tinggi tanpa pengecualian.
Nazaruddin juga mendesak pembentukan forum dialog langsung dan mekanisme pengaduan yang melibatkan masyarakat sipil dan komunitas adat Aceh. “Masyarakat Aceh tidak lagi meminta belas kasihan, melainkan menuntut keadilan ekologis dan akuntabilitas transnasional,” tulisnya, seraya meminta Uni Eropa menyampaikan tanggapan dan rencana tindak lanjut konkret dalam waktu 14 hari kerja.
Surat tersebut turut ditembuskan kepada Presiden Republik Indonesia, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Program Lingkungan PBB (UNEP), pelapor khusus PBB, koalisi masyarakat sipil Indonesia, serta sejumlah media internasional seperti The Guardian dan Reuters.[]
Sumber: Serambinews.com












