SUDAH dua kali kesalahan fatal terjadi dalam praktik surat-menyurat di Kantor Gubernur Aceh. Kesalahan ini bukan sekadar soal administrasi, melainkan menyentuh jantung tata kelola pemerintahan.
Kasus pertama adalah penerbitan Surat Keputusan Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Daerah atas nama Alhudri. SK tersebut terbit tanpa melalui prosedur birokrasi yang semestinya, tanpa paraf pejabat berwenang, dan tanpa mekanisme verifikasi internal.
Dalam konteks hukum administrasi negara, tindakan ini jelas mencederai prinsip due process of law dan melanggar asas kehati-hatian pejabat publik. Lebih mengkhawatirkan, muncul dugaan bahwa Gubernur Aceh, H. Muzakir Manaf (Mualem), menandatangani SK tersebut dalam kondisi tidak memperoleh informasi utuh dari lingkaran birokrasi terdekatnya.
Baca juga: Ketua DPRA: Penunjukan Alhudri Sebagai Plt Sekda tidak Sah, SK-nya Dibuat di Hari Pelantikan Mualem
Kasus kedua bahkan jauh lebih serius. Dugaan penyalahgunaan tanda tangan elektronik Gubernur untuk mengirimkan surat ke sejumlah lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tanpa sepengetahuan Gubernur adalah alarm keras. Jika dugaan ini benar, maka yang terjadi bukan lagi kelalaian administratif, melainkan potensi pelanggaran serius terhadap tata kelola pemerintahan dan keamanan dokumen negara.
Dalam kerangka Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, penyalahgunaan kewenangan dan maladministrasi semacam ini merupakan bentuk pelanggaran berat yang dapat berimplikasi hukum dan politik.
Baca juga: Hati-hati Mualem, Banyak Mafia di Sekeliling Anda!
Dua peristiwa tersebut adalah preseden buruk bagi pusat pemerintahan Aceh. Ketelodoran berulang ini tidak bisa dilepaskan dari lemahnya fungsi Sekretaris Daerah sebagai pejabat tertinggi ASN di daerah. Padahal, sesuai PP Nomor 58 Tahun 2005 dan diperkuat dalam PP Nomor 12 Tahun 2019, Sekda memiliki peran strategis sebagai koordinator penyelenggaraan pemerintahan, pengendali administrasi, sekaligus penjaga kualitas kebijakan kepala daerah.
Jangan sampai terjadi kesalahan ketiga. Sebab, jika pola ini dibiarkan, Aceh bukan hanya menghadapi krisis birokrasi, tetapi juga bencana kepercayaan publik.
Desakan agar Gubernur Aceh mencopot Sekretaris Daerah Aceh M. Nasir pun kian menguat. Rentetan persoalan dalam penanganan bencana hidrometeorologi sepanjang akhir 2025 dinilai bukan lagi kesalahan teknis, melainkan kegagalan serius tata kelola pemerintahan yang berdampak langsung pada wibawa Gubernur dan legitimasi pemerintah daerah.
Pemerhati Sosial dan Politik Aceh, Mahmud Padang, menilai Sekda Aceh gagal menjalankan fungsi utamanya sebagai pengendali birokrasi, koordinator lintas sektor, serta penanggung jawab administrasi dalam situasi krisis.
Dalam kondisi darurat, ketika keputusan harus cepat, berbasis data akurat, dan terkoordinasi, justru terjadi serangkaian blunder yang menyeret Gubernur ke pusaran kontroversi publik. Dia mengapresiasi keberpihakan dan keberanian Mualem yang turun langsung ke lapangan. “Namun harus diakui, sejumlah pernyataan Gubernur yang kemudian terbukti keliru bukan lahir dari kehendak pribadi, melainkan akibat informasi yang tidak diverifikasi secara memadai oleh Sekda sebagai Kepala Posko Tanggap Darurat,” ujar Mahmud Padang, Kamis (18/12/2025).
Dalam praktik pemerintahan modern, Sekda bukan sekadar pejabat administratif. Ia adalah “jantung koordinasi” birokrasi. Ketika jantung ini gagal memompa informasi yang valid, maka seluruh organ pemerintahan ikut terganggu. Prinsip good governance—transparansi, akuntabilitas, dan responsivitas—menjadi jargon kosong tanpa penerapan nyata.
Kasus isu adanya mayat-mayat terkurung di dalam mobil di Aceh Tamiang, yang kemudian dibantah langsung oleh Polres setempat, menjadi contoh nyata kegagalan verifikasi data. Demikian pula kabar hilangnya 80 ton beras bantuan di Bener Meriah, yang belakangan terbukti tidak pernah terjadi.
Dua informasi keliru ini sempat memicu kepanikan publik, memperlemah kepercayaan masyarakat, dan merusak citra pemerintah daerah di tengah situasi darurat.
Dalam perspektif etika pemerintahan, membiarkan kesalahan berulang tanpa evaluasi tegas justru akan menjerumuskan kepala daerah ke dalam jebakan kesalahan struktural. Gubernur Aceh membutuhkan Sekda yang mampu menjaga ritme birokrasi, bukan justru menjadi sumber kegaduhan.
Tajuk ini tidak dimaksudkan untuk menghakimi personal, melainkan mengingatkan. Ketika birokrasi kehilangan kendali, maka yang dipertaruhkan bukan hanya jabatan seorang Sekda, tetapi marwah pemerintahan Aceh itu sendiri.
Ketegasan Gubernur dalam mengambil keputusan kini menjadi ujian kepemimpinan yang sesungguhnya. Jangan sampai terjadi bencana birokrasi di pemerintahan Aceh.[]












