Opini  

Menggugat Peran Dewan Ekonomi yang Tidur Panjang Saat Bencana Aceh

Avatar photo
Ilustrasi (foto dibuat menggunakan ChatGPT)

MASA tanggap darurat banjir dan longsor Aceh segera memasuki fase akhir. Perpanjangan status darurat kini berada di meja evaluasi pemerintah. Namun dari perspektif kebijakan publik, isu yang jauh lebih mendesak bukan pada lamanya masa darurat melainkan pada kesiapan Aceh memasuki fase pemulihan ekonomi dan sosial yang menentukan masa depan provinsi ini pascabencana.

Bencana banjir dan longsor yang melanda Aceh bukanlah kejadian yang datang dan pergi tanpa jejak. Skalanya besar, kerusakannya masif, dan dampaknya multidimensi, terutama pada struktur ekonomi berbasis pertanian dan perkebunan yang menyerap mayoritas tenaga kerja Aceh. Ketika sawah tertimbun lumpur, kebun terbengkalai, pasar rakyat lumpuh, pendapatan petani dan nelayan turun drastis, distribusi logistik terputus, dan harga pangan melambung, maka Aceh tidak hanya kehilangan tanah dan bangunan. Aceh juga sedang kehilangan denyut nadi ekonominya.

Dalam literatur ekonomi regional, kondisi seperti ini masuk dalam zona bahaya yang mengarah pada stagflasi: inflasi tinggi bertemu pelemahan ekonomi. Kombinasi mematikan ini, jika tidak ditangani dengan desain kebijakan yang cermat, berpotensi berubah menjadi krisis sosial; sesuatu yang seharusnya tidak perlu dipelajari kembali dari sejarahnya sendiri.

Baca juga: Sesat Pikir Memahami Pokir

Karena itu, pemulihan tidak boleh dilakukan berdasarkan intuisi politik atau trial and error. Ia harus bertumpu pada kerangka pikir berbasis ilmu pengetahuan melalui penyusunan naskah akademik pemulihan ekonomi Aceh. Dokumen inilah yang seharusnya menjadi fondasi penyusunan peta jalan (road map) jangka pendek, menengah, dan panjang—yang merinci strategi sektor pertanian dan perkebunan, UMKM, pasar rakyat, perikanan, logistik, hingga rekonstruksi infrastruktur ekonomi.

Namun di tengah kebutuhan mendesak untuk berpikir dan bertindak berbasis ilmu pengetahuan ini, kita justru disuguhi pemandangan kelembagaan yang ironis: Dewan Ekonomi Aceh (DEA) seperti menghilang dari radar publik. Padahal—konon—lembaga ini diisi oleh tokoh ekonomi, akademisi, dan praktisi yang mestinya berlari lebih cepat dari gubernur dalam memproduksi gagasan.

Tetapi apa yang terjadi?

Ketika banjir merendam ladang, DEA tidak mengeluarkan satu pun policy brief. Ketika pasar rakyat lumpuh, DEA bahkan tidak terdengar mengadakan rapat darurat. Dan, ketika masyarakat bertanya arah pemulihan, DEA hanya menjawab dengan… keheningan.

Baca juga: Selama Ini bak Siluman, TTI Desak DPRA Buka Jatah Pokir ke Publik

Jika keberadaan DEA dimaksudkan sebagai simbol cantik dalam struktur pemerintahan saja, maka misi itu jelas berhasil. Karena dalam krisis terbesar satu dekade terakhir, DEA tampak sangat piawai dalam satu hal: tidak melakukan apa-apa.

Bila diam adalah seni, maka DEA layak mendapat penghargaan—sebab konsistensinya dalam sunyi sungguh mengagumkan. Padahal, secara teori kebijakan publik, lembaga seperti DEA seharusnya menjadi brain trust—otak perumusan desain pemulihan ekonomi; bukan sekadar ornamen kelembagaan yang muncul hanya saat peresmian.

Hari ini, 23 kabupaten/kota di Aceh terdampak langsung dan tidak langsung oleh terputusnya distribusi dan sirkulasi ekonomi. Pemulihan ekonomi Aceh bukan agenda teknis biasa, melainkan agenda penyelamatan sosial. Setiap lembaga yang memilih duduk diam di tengah krisis, sesungguhnya sedang memperpanjang penderitaan masyarakat.

Aceh tidak membutuhkan papan nama, rapat seremonial, atau lembaga tidur pulas. Yang dibutuhkan Aceh adalah keberanian kebijakan yang berbasis riset, berpihak pada rakyat, dan dimulai sekarang. Bukan tidur panjang.[]

Penulis; akademisi dan pengamat kebijakan publik

Logo Korpri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *