PADA suatu titik di linimasa TikTok, nama Cita Rahayu kembali menyala. Bukan karena goyangan atau potongan refrain yang mudah dihafal, melainkan karena sebuah video klip yang terasa seperti mimpi ganjil—sunyi, gelap, dan memancing rasa tak nyaman.
Beberapa minggu terakhir, Niscaya Nirkala ramai dibicarakan. Padahal lagu dan video musik itu telah dilepas sejak Juli 2025. Waktu seolah baru mengejarnya sekarang, ketika potongan-potongan visualnya dipreteli satu per satu oleh para content creator. Dari situlah berbagai tafsir bermunculan, sebagian bahkan berubah menjadi kecurigaan.
Cita Rahayu—nama yang kini ia pilih, meninggalkan identitas lamanya sebagai Cita Citata—tampak sepenuhnya berjalan menjauh dari masa lalu. Ia tidak lagi mengejar terang panggung yang riuh, melainkan memilih lorong-lorong hening, di mana musik ambience-folk menjadi medium bercerita. Niscaya Nirkala bukan lagu yang meminta untuk segera dipahami. Ia mengajak pendengarnya diam sejenak, mendengarkan ruang kosong, dan merasakan sesuatu yang samar.
Justru kesamaran itulah yang membuatnya “mencekam” bagi sebagian penonton. Sosok tinggi bertudung biru, gerak lambat yang nyaris ritualistik, serta lanskap visual yang dingin memantik tuduhan-tuduhan liar: dari simbol penyembahan berhala hingga keterkaitan dengan sekte tertentu. Video klip itu dinilai tidak ramah, bahkan menyeramkan.
“Ini bukan sekadar perubahan genre. Ini seperti perjalanan ke sisi gelap dirinya,” ujar seorang content creator TikTok dalam sebuah unggahan.
Kalimat itu menyebar cepat, beranak-pinak menjadi asumsi, lalu stigma.
Namun di balik hiruk-pikuk tafsir digital, Cita Rahayu memilih menjelaskan lewat jalur yang lebih tenang. Melalui siaran pers, ia menegaskan bahwa Niscaya Nirkala adalah karya personal—sebuah ekspresi artistik yang bermain di wilayah simbol, bukan ajakan atau pernyataan ideologis. Visual yang dianggap mistis justru dimaksudkan sebagai metafora: tentang sunyi, pencarian makna, dan jarak manusia dengan dirinya sendiri.
Barangkali yang membuat banyak orang gelisah bukanlah “kegelapan” itu sendiri, melainkan keberanian Cita Rahayu untuk tidak lagi menjelaskan segalanya secara gamblang. Ia membiarkan musiknya bernafas, memberi ruang tafsir, dan menerima risiko disalahpahami.
Di tengah budaya viral yang serba cepat dan dangkal, Niscaya Nirkala berdiri sebagai anomali. Ia datang terlambat ke linimasa, berbicara pelan, dan tidak menawarkan jawaban instan. Tapi justru di situlah kekuatannya: sebagai karya yang tidak mengejar keramaian, melainkan mengundang perenungan.
Dan mungkin, di antara segala kecurigaan dan kebisingan komentar, lagu ini hanya ingin didengarkan—tanpa prasangka, tanpa ketakutan. Seperti senja yang gelap perlahan, bukan untuk ditakuti, melainkan untuk dilewati.[]
Kiriman Novita Widya, Jakarta












