PENGAMAT kebijakan publik Usman Lamreung mengkritik kinerja Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang dinilainya belum maksimal dalam merespons rangkaian banjir dan longsor yang melanda Aceh. Salah satu dampak paling nyata di lapangan adalah tidak terkoordinasinya sebaran bantuan logistik. Benarkah?
Data sementara Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) mencatat, hingga pekan ketiga Desember, banjir dan longsor telah berdampak pada lebih dari 70 ribu jiwa di sedikitnya 10 kabupaten/kota, dengan ribuan rumah terendam, ratusan fasilitas umum rusak, dan sejumlah wilayah masih terisolasi akibat jembatan putus serta badan jalan tertimbun longsor. Di Aceh Tamiang, Aceh Utara, Bener Meriah, Aceh Tengah, hingga Gayo Lues, banjir bukan sekadar peristiwa alam, melainkan krisis kemanusiaan yang menuntut respons cepat dan terkoordinasi.
Namun, yang tampak justru sebaliknya.
Berkaca pada pengalaman Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) pascatsunami Aceh, kekacauan distribusi bantuan nyaris tidak terjadi. Salah satu kuncinya adalah kejelasan komando ketika status bencana ditetapkan sebagai bencana nasional. Negara hadir penuh, rantai komando tegas, dan ego sektoral ditekan.
Baca juga: BNPB Dituding Pencitraan, Baru Pasang Tenda di Tamiang Jelang Kunjungan Presiden
Kini, situasinya berbeda. Status bencana berada dalam ruang abu-abu: lokal bukan, nasional pun enggan disebut. Akibatnya, penanganan ikut menjadi “bukan-bukan”. Koordinasi lemah, data korban simpang siur, dan distribusi bantuan berjalan sporadis—lebih banyak digerakkan oleh inisiatif kelompok, komunitas, atau donatur masing-masing.
Ironisnya, di tengah penderitaan korban, publik justru disuguhi paradoks. Media sosial dan pemberitaan dipenuhi dokumentasi rombongan pengantar bantuan. Spanduk terbentang, rompi relawan berjejer, truk sembako lalu-lalang. Namun di gampong-gampong terdampak, keluhan terus terdengar: bantuan tak kunjung sampai atau datang tidak merata.
Lebih menyedihkan lagi, kekacauan distribusi ini membuka ruang konflik sosial. Di Aceh Utara, dilaporkan, ada bantuan yang dirampas para oknum. Pada saat yang lain, sebuah truk pengangkut sembako dibakar oleh sekelompok massa.
Baca juga: VIDEO: Para Penyintas Longsor dari Bener Meriah
Aksi semacam ini tentu tidak bisa dibenarkan. Namun ia menjadi cermin retak dari sistem yang gagal: ketika rasa keadilan distribusi hilang, emosi kolektif mudah tersulut. “Ini bukan semata soal moral masyarakat,” kata Usman Lamreung. “Ini soal absennya negara sebagai pengatur utama.”
Ketika bantuan tidak terdata, tidak dikawal, dan tidak diarahkan secara transparan, maka yang terjadi adalah kelompok bantu kelompok, bukan negara membantu warga.
Padahal, dalam situasi darurat, yang dibutuhkan bukan sekadar kehadiran bantuan, melainkan kepastian. Kepastian siapa berhak menerima, kapan bantuan tiba, dan siapa yang bertanggung jawab. Tanpa itu, bantuan berubah dari solusi menjadi sumber masalah baru.
Baca juga: “Monster” Itu Kita Sendiri
Bencana memang tak bisa ditolak. Namun kekacauan dalam penanganan adalah pilihan. Ketika negara ragu menetapkan status, ragu memimpin koordinasi, dan ragu mendengar suara daerah, maka penderitaan korban menjadi berlipat.
Aceh tidak kekurangan solidaritas. Yang kurang adalah koordinasi dalam krisis. Dan selama itu tak dibenahi, kita akan terus menyaksikan ironi yang sama: bantuan melimpah di jalan, tapi langka di tangan korban.[]












