KabarAktual.id — Ratusan warga yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Aceh Peduli Bencana Sumatra menggelar aksi unjuk rasa di depan Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, Kamis (18/12/2025) pagi. Mereka memprotes lambannya respons Pusat menangani bencana Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
Dalam aksinya, pengunjung rasa membentangkan sejumlah poster bernada protes. “Tetapkan Status Darurat Bencana Nasional”, “Presiden! Pengabaian Atas Korban Adalah Pelanggaran HAM”, “Rakyat Dimangsa Waham Prabowo”, serta “Fira’un Kok Minta Tongkat”. Begitu beberapa kalimat kritik pengunjuk rasa.
Bencana hidrometeorologi yang melanda sejumlah daerah di Sumatra tersebut telah memasuki hari ke-23. Berdasarkan data terbaru Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), banjir dan longsor berdampak pada 52 kabupaten/kota.
Jumlah korban jiwa tercatat mencapai 1.059 orang. Selain itu, sebanyak 7.000 orang mengalami luka-luka dan 192 orang masih dinyatakan hilang. Dampak kerusakan juga terbilang masif, dengan 147.256 rumah rusak, 1.600 fasilitas umum terdampak, termasuk 967 fasilitas pendidikan, 145 jembatan, 434 rumah ibadah, 290 gedung perkantoran, serta 219 fasilitas kesehatan.
Sementara itu, jumlah pengungsi mencapai 514.200 orang yang tersebar di 13 kabupaten/kota di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Daerah dengan jumlah pengungsi terbanyak berada di Aceh Utara dan Aceh Tamiang.
Koordinator aksi, Rahmad Maulidin, menilai pemerintah pusat belum menunjukkan kebijakan strategis yang nyata meskipun bencana telah berlangsung lebih dari tiga pekan. Ia menegaskan, tingginya jumlah korban jiwa dan pengungsi seharusnya direspons dengan langkah konkret dari negara.
Menurut dia, jumlah korban jiwa melampaui seribu orang, ratusan ribu pengungsi, kerugian material yang sangat besar, serta terganggunya pelayanan publik. “Seharusnya negara hadir melalui kebijakan nyata, bukan sekadar kunjungan simbolik dan pernyataan normatif,” kata Rahmad dalam orasinya.
Ia juga mengkritik sikap pemerintah pusat yang dinilai enggan membuka akses bantuan internasional. Menurutnya, pandangan bahwa bantuan luar negeri merupakan ancaman adalah kekeliruan yang justru memperlambat penanganan darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi. “Menolak bantuan internasional sama saja dengan memperpanjang penderitaan korban, baik secara fisik maupun psikologis,” tegasnya.
Koalisi Masyarakat Sipil Aceh menilai bencana banjir dan longsor di Sumatra bukan semata peristiwa alam, melainkan juga akibat kerusakan lingkungan dan deforestasi besar-besaran, baik legal maupun ilegal. Hingga kini, kata Rahmad, masih banyak wilayah yang tertimbun material longsor berupa tanah dan kayu, sementara data korban terus bertambah setiap hari.
Atas kondisi tersebut, koalisi menyampaikan tiga tuntutan utama kepada pemerintah pusat.
Pertama, segera menetapkan status darurat bencana nasional agar Presiden dapat mengambil alih komando penanganan dan mengerahkan seluruh sumber daya negara.
Kedua, membuka akses bantuan kemanusiaan internasional, baik pada masa tanggap darurat maupun tahap rehabilitasi dan rekonstruksi.
Ketiga, menegakkan hukum terhadap pelaku perusakan lingkungan, khususnya perusahaan yang diduga menjadi penyebab banjir dan longsor akibat deforestasi.
Rahmad menambahkan, penetapan status darurat bencana nasional juga memungkinkan Presiden melakukan refocusing APBN untuk mempercepat penanganan bencana, termasuk mengalihkan anggaran yang dinilai kurang prioritas di tengah situasi darurat. “Ini bukan sekadar soal bencana alam, tetapi soal kebijakan dan keberpihakan negara kepada rakyatnya,” pungkasnya.[]












