KabarAktual.id — Bencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Aceh pada 26 November 2025 tidak hanya merenggut ribuan jiwa dan harta benda, tetapi juga berdampak luas terhadap perekonomian lokal. Salah satu yang mencolok adalah tutupnya ratusan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) akibat kelangkaan LPG dan bahan bakar minyak (BBM).
Pantauan KabarAktual.id di Banda Aceh, Kamis (11/12/2025), menunjukkan banyak rumah makan, warung kopi, dan gerobak makanan berhenti beroperasi karena kesulitan memperoleh pasokan gas elpiji untuk memasak. “Listrik bisa kita atasi dengan genset, tapi kami tidak bisa memasak kopi karena tidak ada gas,” ujar salah seorang pengusaha warung kopi di kawasan Lampineung.
Tak hanya warung kecil, sejumlah warkop skala besar dan perangkat usaha rumahan lainnya juga menghentikan operasi. Pemilik gerobak mie Aceh menyatakan terpaksa merumahkan pekerja mereka karena tidak bisa berproduksi, yang dinilai memperburuk angka pengangguran di provinsi ini.
Baca juga: Aktivitas Penyeberangan di Bekas Jembatan Kuta Blang Bireuen
Aceh memiliki basis UMKM yang signifikan, dengan perkiraan lebih dari 600.000 unit usaha, mayoritas usaha mikro yang tersebar di kabupaten dan kota di seluruh provinsi. Data terbaru menyebut jumlah UMKM mencapai sekitar 624.477 unit, terdiri dari puluhan ribu UMKM mikro, ratusan usaha kecil, dan beberapa puluh usaha menengah.
Kerusakan Pertanian
Selain dampak pada sektor UMKM, bencana yang sama juga menghancurkan sektor pertanian Aceh. Lahan pertanian mengalami kerusakan berat karena luapan air, longsor, dan endapan lumpur di sejumlah wilayah terdampak.
Baca juga: Warga Bener Meriah Masih Terisolir, Pertalite Rp 60 Ribu Seliter
Di Kabupaten Aceh Barat, sekitar 2.100 hektare lahan sawah yang semula ditanami di musim rendengan 2025 rusak parah, dengan sekitar 1.700 hektare harus ditanami ulang karena gagal panen setelah diterjang banjir bandang. Sementara di Kabupaten Aceh Besar, identifikasi awal menunjukkan lahan sawah terdampak mencapai sekitar 3.530 hektare, yang kini memerlukan puluhan ribu kilogram benih padi untuk pemulihan.
Secara keseluruhan, ribuan hektare sawah dan lahan pertanian lain di berbagai kabupaten Aceh ikut terdampak, baik terendam air maupun tertutup oleh endapan lumpur. Dampak ini tidak hanya menghilangkan hasil panen, tetapi juga merusak infrastruktur irigasi dan saluran air yang penting bagi produktivitas jangka panjang.
Kerusakan di sektor pertanian ini juga memicu berbagai tantangan baru, termasuk sengketa batas tanah antar petani di wilayah yang sama setelah bencana, serta kebutuhan besar untuk rehabilitasi lahan yang terkena lumpur tebal.
Dampak Lainnya
Banjir dan longsor yang terjadi akhir November lalu telah memaksa puluhan ribu warga Aceh mengungsi, merendam permukiman, infrastruktur, dan memutus akses transportasi di sejumlah kabupaten/kota di provinsi tersebut — termasuk Aceh Timur, Aceh Utara, dan Lhokseumawe — dengan total puluhan ribu kepala keluarga terdampak.
Pemerintah pusat dan daerah kini tengah mengidentifikasi dampak kerusakan lahan pertanian untuk merancang bantuan serta insentif pemulihan, termasuk penghapusan KUR dan dukungan pemulihan pertanian sesuai arahan Presiden.[]












