TRAGEDI ekologis di Sumatera membuka wajah gelap cara negara bekerja hari ini. Ratusan warga tewas, ribuan kehilangan rumah, dan desa-desa porak poranda akibat banjir dan longsor. Namun hingga kini, negara menolak menetapkan status bencana nasional.
Tragedi itu diperlakukan seolah sekadar gangguan kecil bagi narasi “pembangunan”. Dari sini muncul pertanyaan mendasar:Jika negara tidak lagi menjalankan mandat moralnya, apa yang tersisa dari Pancasila?
Bagaimana mungkin negara mengaku “berketuhanan”, “berkemanusiaan”, dan “berkeadilan sosial” ketika ia bahkan enggan mengakui besarnya luka rakyat sebagai bencana?
Negara yang Menyangkal Luka
Dalam teori representasi modern, negara bisa berhenti mewakili kepentingan rakyat dan berubah menjadi rezim berbasis kepentingan elite. Negara bekerja untuk sekelompok kecil yang memiliki akses kuasa, bukan untuk warga luas.
Penolakan menetapkan status bencana nasional bukan sekadar keputusan administratif. Pengakuan status itu berarti membuka evaluasi besar terhadap tata kelola lingkungan, perizinan industri, relasi negara dengan korporasi, dan akumulasi kuasa ekonomi-politik para elite.
Karena itulah, diam menjadi pilihan paling aman.Diam menjaga narasi pembangunan tetap elok. Diam melindungi kepentingan yang bercokol. Namun diam juga berarti satu hal: negara berhenti mendengar jeritan rakyatnya.
Ketika Ekologi Diperdagangkan
Kerusakan Sumatera bukan semata bencana alam, melainkan hasil panjang kebijakan ekstraktif. Berbagai studi menunjukkan bahwa ekspansi sawit, pertambangan, dan pembalakan hutan memperparah kerentanan banjir dan longsor. Lingkungan dipaksa menanggung ekspansi ekonomi.
Sejak Orde Baru, kemajuan didefinisikan sempit: besarnya investasi, panjang jalan, luas konsesi, dan grafik pertumbuhan. Manusia dan alam ditempatkan sebagai angka statistik.
UU Cipta Kerja memperjelas arah ini. Omnibus law tersebut menggeser peran negara dari pelindung rakyat menjadi fasilitator modal. Proses penyusunannya minim partisipasi publik dan menempatkan DPR sebagai stempel kepentingan industri.
Maka wajar jika publik bertanya. Apakah hukum masih melindungi manusia, atau manusia kini dipaksa tunduk pada hukum yang memihak modal?
Republik Pencitraan
Tragedi juga menyingkap watak kekuasaan. Di tengah duka, pejabat tampil dengan pujian berlebihan kepada pemimpin pusat. Di lokasi pengungsian, ucapan sanjungan malah mendominasi ruang empati.
Ini bukan kejadian personal. Ini gejala politik modern: kesetiaan simbolik lebih penting daripada kerja nyata. Dalam demokrasi elektoral yang personalistik, pejabat cenderung memamerkan loyalitas ketimbang menyelesaikan masalah.
Fenomena itu diperkuat oleh tiga hal:
1. Patronase politik – kepala daerah bergantung pada pusat demi anggaran dan karier.
2. Ekosistem buzzer – bukan untuk memberi informasi, tapi membentuk persepsi dan membungkam kritik.
3. Komodifikasi duka – lokasi bencana menjadi latar panggung pencitraan.
Riset menunjukkan buzzer bekerja sistematis: memviralkan pujian, menenggelamkan kritik, dan memaksakan narasi bahwa pemerintah telah bekerja maksimal. Akibatnya, tragedi tak lagi diperlakukan sebagai luka kemanusiaan, melainkan sebagai konten politik.
Rumah hancur jadi dekorasi. Korban kehilangan keluarga menjadi figuran. Kesedihan berubah menjadi bahan kampanye empati instan.
Maka muncul pertanyaan pahit. Apa arti Pancasila jika pejabat lebih sibuk memuja kekuasaan daripada memulihkan kehidupan warganya?
Pancasila yang tak Lagi Dihayati
Pancasila kini sering terdengar sebagai mantra, bukan nilai hidup. Teori civic virtue menegaskan bahwa nilai publik hanya bermakna jika dijalankan secara konsisten oleh pemegang kuasa.
Namun bagaimana rakyat diminta percaya Pancasila masih hidup ketika: air mata warga gagal menggerakkan negara, tanah ulayat digusur demi konsesi, hutan ditebang demi ekspansi industri, hak rakyat dianggap hambatan pembangunan?
Di titik ini, Pancasila turun derajat. Ia bukan lagi pedoman moral negara, melainkan ornamen kekuasaan: hiasan pidato, slogan seremonial, dan simbol kosong.
Pertanyaan kian tajam. Jika negara tak mempraktikkan Pancasila, siapa sebenarnya yang mengkhianati ideologi bangsa: rakyat atau pemerintahannya?
Kekecewaan publik sering melahirkan seruan keras: revolusi, kudeta, atau penggulingan. Namun sejarah menunjukkan, perubahan sejati lahir bukan dari senjata, melainkan dari pergeseran legitimasi moral.
Negara bisa bertahan dengan hukum.Tetapi negara runtuh ketika kehilangan kepercayaan rakyat.
Hari ini, erosi legitimasi itu terasa:di media sosial yang dipenuhi amarah,di desa-desa yang kehilangan orang tercinta,di kota-kota yang kian sadar bencana ekologis tak jauh dari mereka.Yang dibutuhkan bukan mengganti ideologi, melainkan merebut kembali Pancasila dari tangan mereka yang menjadikannya slogan.
Ini bukan revolusi untuk menghancurkan negara,melainkan revolusi untuk memulihkannya.Revolusi etika.Revolusi keberanian.Revolusi warga agar negara kembali menjadi milik publik.
Penutup
Bencana Sumatera memperlihatkan negara hari ini lebih sibuk menjaga stabilitas politik, melindungi jejaring bisnis, dan mengelola citra melalui pencitraan dan buzzer. Namun nilai bangsa tidak lahir dari istana—ia lahir dari rakyat.
Jika negara gagal menjalankan Pancasila, bukan berarti Pancasila mati.Itu berarti rakyatlah yang kini menjadi penjaga terakhirnya. Karena ideologi hanya hidup sejauh ia diwujudkan. Dan, ketika negara berhenti merawatnya,tugas itu jatuh ke tangan warga.[]












