KabarAktual.id — Kota Banda Aceh tidak ditimpa bencana parah sebagaimana daerah lain di Aceh. Sayangnya, Pemko Banda Aceh tidak mampu menempatkan diri sebagai wilayah penyangga bagi saudara-saudaranya yang jadi korban musibah banjir dan tanah longsor.
Antrean panjang BBM, pemadaman listrik berulang, kelangkaan LPG, serta melonjaknya harga kebutuhan pokok terjadi dalam beberapa pekan terakhir dan menuai sorotan tajam dari pengamat ekonomi publik, Dr. Safwan Nurdin. Ia menilai kondisi tersebut mencerminkan terjadinya “bencana tata kelola” di tingkat Pemerintah Kota Banda Aceh.
Safwan mengatakan, ketika daerah lain di Aceh terdampak banjir dan longsor, Banda Aceh seharusnya menjadi pusat penyangga distribusi logistik dan layanan publik. “Namun justru kota ini mengalami krisis pelayanan,” ujar Safwan kepada KabarAktual.id, Kamis (4/12/2025).

Ia menjelaskan, antrean BBM di sejumlah SPBU mengular hingga ratusan meter. Warga terpaksa menunggu dua hingga lima jam hanya untuk memperoleh beberapa liter Pertalite atau solar. Pada saat bersamaan, pasokan listrik sering padam tanpa pemberitahuan resmi yang jelas. “Pemadaman ini mengganggu aktivitas warga, dunia usaha, khususnya UMKM, proses belajar anak, hingga layanan berbasis digital,” katanya.
Selain itu, kelangkaan LPG, baik ukuran 3 kilogram maupun 12 kilogram, juga dikeluhkan warga. Situasi tersebut diperparah dengan meningkatnya harga kebutuhan pokok di pasar tradisional. “Akses energi terganggu, mobilitas terhambat, penerangan minim, dan harga bahan pangan tak terkendali. Ini berarti hak dasar warga tidak terpenuhi secara optimal,” ujar Safwan.
Akademisi ini menilai pemerintah kota belum menunjukkan langkah strategis dalam merespons situasi tersebut. Belum terlihat adanya komunikasi publik yang intensif, kepastian jadwal pemulihan listrik, jaminan distribusi gas LPG, maupun upaya pengendalian harga sembako di tingkat pasar.
“Seharusnya pemerintah hadir menenangkan masyarakat dengan informasi yang jelas, membangun koordinasi dengan PLN, Pertamina, dan distributor logistik, serta memastikan stabilitas harga,” tegasnya.
Dampak krisis ini, menurut Safwan, dirasakan langsung oleh pelaku usaha kecil dan rumah tangga. UMKM kehilangan omzet akibat keterbatasan operasional saat listrik padam. Pengendara menghabiskan waktu produktif mengantre BBM, sementara rumah tangga menanggung beban biaya tambahan untuk genset dan gas yang lebih mahal. “Kondisi ini memperlambat pergerakan ekonomi kota dan menurunkan kepercayaan publik terhadap kualitas tata kelola pemerintahan,” pungkasnya.
Safwan menegaskan, Banda Aceh seharusnya menjadi contoh kota tangguh dalam manajemen kebencanaan dan pelayanan publik, mengingat pengalaman panjang pascatsunami. Namun situasi saat ini justru menunjukkan lemahnya respons pemerintah daerah terhadap krisis layanan dasar. “Bukan kekurangan pasokan yang terjadi, tetapi lemahnya kepemimpinan dan tata kelola,” ujarnya.
Hingga berita ini diturunkan, Pemerintah Kota Banda Aceh belum memberikan keterangan resmi terkait antrean BBM, pemadaman listrik berulang, kelangkaan LPG, maupun upaya pengendalian harga sembako yang dikeluhkan warga.[]












