Gelar yang Salah Alamat

Gambar hanya ilustrasi dibuat menggunakan AI

PENGANUGERAHAN gelar adat “Petua Panglima Hukom Nanggroe” kepada Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian oleh Wali Nanggroe Aceh, Malik Mahmud Al Haythar, Rabu (12/11/2025), patut dipertanyakan dari segi moralitas politik dan akal sehat. Di saat banyak pihak menuntut kejelasan implementasi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), justru orang yang paling banyak menghambat lahirnya peraturan pemerintah (PP) turunan dari undang-undang tersebut diberi kehormatan tertinggi adat Aceh.

Padahal, publik Aceh tahu persis, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) adalah institusi yang selama ini menjadi batu sandungan dalam realisasi UUPA—sebuah undang-undang yang menjadi fondasi self government Aceh sebagaimana diamanatkan dalam MoU Helsinki 2005. Berbagai rancangan PP yang menjadi turunan UUPA, seperti pengelolaan sumber daya alam, pembentukan lembaga keistimewaan, hingga penataan batas wilayah, terkatung-katung di meja Kemendagri tanpa kejelasan.

Baca juga: Mendagri Tito Karnavian Diberi Gelar “Petua Panglima Hukom Nanggroe”

Juga sebuah ironi, justru di bawah kepemimpinan Tito, Kemendagri beberapa waktu lalu mengambil langkah yang mengusik ketenangan Aceh. Empat pulau yang secara historis dan administratif berada dalam wilayah Aceh malah dialihkan ke Sumatera Utara. Keputusan sepihak ini menimbulkan kecurigaan yang terasa wajar bahwa Tito bukan sekadar bertindak administratif, melainkan sedang membalas budi politik. Tak sedikit yang menilai pengalihan itu adalah bentuk “terima kasih” kepada Presiden Joko Widodo—mertua Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution—yang telah membuka jalan karier Tito dari Kapolri hingga kini Mendagri.

Dalam konteks itu, pemberian gelar adat kepada Tito terasa bukan sebagai penghormatan, tetapi sebagai langkah politik yang keliru arah. Bukannya menjadi simbol martabat dan kedaulatan adat, penganugerahan ini justru tampak sebagai tindakan menjilat kekuasaan pusat—sebuah ironi yang mencederai semangat keistimewaan Aceh.

Baca juga: Analisis: Drama Empat Pulau dan Desain Pertarungan Politik 2029

Seharusnya, gelar kehormatan diberikan kepada tokoh yang betul-betul menunjukkan keberpihakan pada perjuangan Aceh, bukan kepada mereka yang justru mempersempit ruang otonomi daerah ini. Jika Aceh ingin tetap dihormati sebagai daerah berdaulat dalam bingkai NKRI, maka penghargaan adat tak boleh diperalat menjadi alat diplomasi politik elitis yang menafikan aspirasi rakyatnya sendiri.

Gelar adat adalah simbol marwah. Dan, marwah Aceh tidak pantas diserahkan kepada mereka yang mengebiri hak-hak Aceh atas nama pencitraan semu.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *