Ketika Wakil Bupati Lupa bahwa Ia bukan Petinju

Wabup Pijay Hasan Basri dengan membabi buta menyerang kepala SPPG Muhammad Reza (foto: Ist)

AKSI barbar Wakil Bupati Pidie Jaya, Aceh, bukan sekadar ledakan emosi. Fenomena ini lebih jauh menjelaskan tentang kegagalan sistem rekrutmen elit yang tidak melahirkan pemimpin, tapi cuma sebatas pemenang pilkada.

Inilah buah yang harus dipetik dari sistem politik transaksional. Yang didapat bukan keteladanan, tapi sosok yang semakin toleran pada perilaku preman. Akhirnya, rakyat juga yang jadi korban.

Baca juga: Setelah Bogem Kepala SPPG, Wabup Pijay Juga Kasari Karyawan Perempuan

Kasus pemukulan yang dilakukan oleh Wakil Bupati Pidie Jaya, Hasan Basri, terhadap seorang kepala SPPG adalah potret telanjang dari cacatnya sistem seleksi calon kepala daerah. Selama ini, popularitas lebih dihargai daripada integritas, dan elektabilitas lebih dikejar ketimbang kestabilan kejiwaan.

Dalam rekaman CCTV yang beredar, Hasan Basri tampak kehilangan kendali: membentak, menghina, bahkan memukul. Aksi itu bukan hanya mempermalukan dirinya, tapi juga menodai kehormatan Pidie Jaya di mata publik nasional.

Baca juga: Jadi Sumber Masalah, RUPS Harus Singkirkan Genk dan “Maop” dari Bank Aceh

Tak heran jika media sosial menjadikannya bulan-bulanan sarkasme. Ada yang menyarankan sang Wabup ikut pelatda tinju saja untuk Porda mendatang. Sebuah sindiran getir yang berakar dari rasa kecewa rakyat terhadap pejabat yang lupa kendali diri.

Peristiwa ini mestinya membuka mata para penyelenggara pemilu dan partai politik: sudah waktunya berhenti menomorsatukan pencitraan. Seleksi calon kepala daerah harus kembali pada substansi: akhlak, kepribadian, dan kemampuan mengelola tekanan. Tes kejiwaan dan psikologis harus menjadi syarat mutlak, bukan formalitas administratif. Sebab, rakyat tak butuh pemimpin yang pandai berjanji, tetapi mudah tersulut marah.

Temperamen kasar, apalagi dibalut gaya preman, hanya akan menular menjadi budaya takut di birokrasi. Pegawai negeri bekerja bukan karena hormat, melainkan karena cemas. Padahal, pemerintahan yang sehat hanya lahir dari rasa aman, saling percaya, dan kepemimpinan yang meneduhkan.

Pidie Jaya memberi kita cermin buram tentang bagaimana kekuasaan tanpa kendali diri bisa melahirkan antipati massal. Karena itu, partai politik harus berani menyeleksi calon bukan dari seberapa ramai ia bersorak di panggung, tapi seberapa tenang ia menyelesaikan masalah. Publik pun perlu lebih kritis. Jangan mudah terpesona oleh pemimpin yang lantang berbicara, tapi ambruk menghadapi kritik.

Kepala daerah bukan petinju di ring. Ia pemimpin yang seharusnya menenangkan, bukan menakutkan. Jika premanisme terus dibiarkan berseragam jabatan, kita sedang menanam bibit kehancuran moral di tubuh pemerintahan.

Saatnya rakyat menolak pemimpin yang gemar menggebrak meja. Negara harus memastikan, bahwa mereka yang ingin memimpin harus benar-benar sehat. Bukan hanya jasmani, tapi juga jiwanya.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *