Birokrasi Reuloh, Reuloh Birokrasi

Ilustrasi mutasi pejabat (foto: Inet)

Rotasi pejabat yang terlalu cepat sedang menjadi pola baru di awal pemerintahan Gubernur Muzakir Manaf. Alasannya: reformasi birokrasi. Namun, bila pergantian tanpa arah dan evaluasi, pembenahan yang dimaksud justru bisa menjadi bumerang.

GUBERNUR Aceh Muzakir Manaf alias Mualem kembali mengguncang struktur birokrasi. Baru lima bulan menjabat, Kepala Bappeda Husnan dicopot. Tak lama sebelumnya, Pelaksana Harian Kadis Koperasi yang baru seumur jagung—sekitar satu bulan—juga diganti melalui keputusan Sekda M. Nasir.

Secara administratif, pergantian pejabat memang adalah hak prerogatif kepala daerah. Tindakan itu sah secara hukum dan dibenarkan dalam teori manajemen pemerintahan. Namun dari perspektif tata kelola birokrasi yang sehat, rentang waktu enam bulan jelas terlalu cepat. Umumnya, pejabat struktural diberi masa adaptasi minimal dua tahun untuk menunjukkan kinerja dan membangun sistem kerja yang solid.

Baca juga: Mabuk Mutasi; “Abeh Batre bak Peubulat-bulat Sente”

Dalam literatur klasik—seperti teori Max Weber—birokrasi ideal dibangun atas dasar stabilitas, kompetensi, dan rasionalitas prosedural. Ketika rotasi jabatan dilakukan terlalu sering dan tanpa mekanisme evaluasi yang objektif, maka yang terjadi bukanlah pembenahan, melainkan disorientasi kelembagaan. Loyalitas ASN bisa terbelah, koordinasi antardinas terganggu, dan orientasi pelayanan publik menjadi kabur.

Memang, Mualem mewarisi birokrasi yang “reuloh”—rusak parah—akibat warisan panjang dari pemerintahan sebelumnya. Selama era Nova Iriansyah, birokrasi Aceh berjalan dengan gaya manajemen otoriter. Sekda kala itu cenderung dominan, banyak kepala SKPA bekerja dalam tekanan politik, dan sejumlah ASN terseret kasus hukum—termasuk eks Kadis Pendidikan, Rachmat Fitri, yang kini mendekam di penjara.

Baca juga: Baru 5 Bulan Menjabat, Husnan Didepak dari Kepala Bappeda Aceh

Wajar bila Mualem ingin melakukan reformasi total. Ia tentu berupaya menyingkirkan figur-figur lama yang dianggap membawa pengaruh buruk. Namun reformasi tidak bisa dijalankan dengan logika “asal ganti orang”. Tindakan itu menuntut perencanaan matang, seleksi berbasis merit, dan pertimbangan etika birokrasi.

Dua pergantian mendadak itu justru memperlihatkan bahwa proses pengisian jabatan belum sepenuhnya mengikuti prinsip profesionalisme dan kehati-hatian. Jika keputusan politik mendominasi rasionalitas birokrasi, maka niat memperbaiki sistem justru berisiko melahirkan “kerusakan baru”.

Baca juga: Mualem Diminta tidak Tunjuk “Anak Kemarin Sore” Jadi Plh Kadis

Apalagi, birokrasi Aceh selama ini sudah terkotak-kotak akibat politik identitas daerah. Banyak pejabat dipilih bukan karena kompetensinya, melainkan karena kesamaan asal wilayah atau kedekatan politik. Model seperti ini hanya akan memperdalam luka lama birokrasi Aceh—menjadi lembaga yang lebih sibuk menjaga perimbangan politik ketimbang melayani publik.

Pemimpin yang adil seharusnya memandang ASN sebagai “mesin netral”—bekerja tanpa warna politik, tanpa ikatan primordial. Pemerataan jabatan bukan hadiah bagi loyalitas politik, tapi hak bagi profesionalisme dan prestasi.

Jika semangat “reformasi birokrasi” berubah menjadi sekadar pergantian nama tanpa arah, maka ujungnya hanya satu: birokrasi tetap reuloh, bahkan bisa lebih reuloh karena dipeureuloh (dirusak) oleh tangan pemimpinnya sendiri.

Pada akhirnya, kepemimpinan bukan sekadar soal prerogatif, tetapi juga kebijaksanaan dalam menggunakan kekuasaan. Pemimpin sejati bukan yang paling sering mengganti orang, melainkan yang mampu menumbuhkan sistem yang membuat orang bekerja dengan benar.

Aceh butuh birokrasi yang tegak karena nilai, bukan karena figur; yang kuat karena aturan, bukan karena kedekatan. Bila reformasi hendak dijalankan, maka ukurannya bukan seberapa sering kursi berganti, melainkan seberapa jauh pelayanan publik membaik dan rakyat merasa hadirnya negara di tengah mereka.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *