APBD Dideposito, Rakyat Dibiarkan Miskin

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa

Ratusan triliun uang rakyat dibiarkan tidur di rekening bank daerah, sementara jutaan warga masih berjibaku melawan kemiskinan. Pemerintah daerah sibuk menghitung bunga deposito. Mereka lupa, bahwa nurani tak bisa disimpan dalam saldo kas.

PERNYATAAN tegas Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, baru-baru ini, membuka tabir lama yang selama ini hanya beredar di kalangan pengamat fiskal: banyak pemerintah daerah yang justru menjadi “pencipta kemiskinan.” Ironis, karena di tengah jargon kemandirian fiskal dan desentralisasi pembangunan, ternyata ratusan triliun dana publik justru mengendap di bank-bank daerah, bukan berputar untuk kesejahteraan rakyat.

Data Kementerian Keuangan per September 2025 mencatat, saldo kas pemerintah daerah di perbankan mencapai lebih dari Rp285 triliun, naik sekitar 12 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Dana sebesar itu seharusnya bisa mempercepat pembangunan infrastruktur dasar, menekan angka pengangguran, atau menopang daya beli masyarakat. Namun kenyataannya, uang rakyat itu justru “ditidurkan,” seolah tak ada kebutuhan mendesak di daerah-daerah yang masih bergelut dengan kemiskinan ekstrem.

Baca juga: Purbaya Skakmat Demul: Data APBD Jabar Rp 4,1 T Dideposito dari BI … Bisa Jadi Gubernur Dikibuli Anak Buah !

Tidak berlebihan jika Purbaya menyebut ada praktik moral hazard di balik tingginya simpanan APBD ini. Bagi sebagian kepala daerah, menaruh dana publik di bank dianggap strategi cerdas untuk “menikmati” bunga deposito. Padahal, praktik semacam itu sama saja dengan mengorbankan kepentingan publik demi keuntungan jangka pendek dan kepuasan elit birokrasi.

Lebih parah lagi, ketika pemerintah pusat melakukan rasionalisasi dan pemotongan Transfer ke Daerah (TKD), sebagian kepala daerah bereaksi keras, seolah rakyat menjadi korban langsung dari kebijakan pusat. Padahal, TKD yang dipangkas tidak menyentuh pos gaji ASN maupun PPPK. Gaji aparatur sudah memiliki alokasi khusus dalam belanja wajib daerah. Yang berkurang adalah ruang “manuver” dana tak produktif yang selama ini menjadi lahan bermain bagi kelompok tertentu.

Baca juga: Dedi Mulyadi Tantang Purbaya Buktikan APBD Jabar Dideposito

Narasi “rakyat dirugikan” digunakan sebagai tameng politik. Dalih bahwa pemotongan TKD akan menghambat pembangunan hanyalah setengah kebenaran. Justru karena anggaran daerah tidak terserap optimal, maka belanja publik rendah, daya saing ekonomi daerah merosot, dan pada akhirnya masyarakat kecil tetap terjebak dalam lingkar kemiskinan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, hingga Maret 2025, masih ada 25,22 juta penduduk miskin di Indonesia, dengan sebagian besar terkonsentrasi di daerah yang memiliki serapan anggaran rendah.

Di sinilah publik harus jeli membaca arah kebijakan. Pemerintah pusat tidak sedang memangkas hak daerah, melainkan menegakkan disiplin fiskal agar setiap rupiah anggaran bekerja untuk rakyat. Reformasi transfer fiskal memang perlu keberanian, terutama ketika banyak kepentingan politik bertumpuk dalam tubuh birokrasi daerah.

Sebaliknya, sebagian pemerintah daerah memilih jalur aman—menyalahkan pusat, menunda realisasi proyek, atau memelihara program populis seperti pengangkatan PPPK tanpa perencanaan matang. Tidak sedikit kasus ditemukan, data pengangkatan PPPK bermasalah karena berisi nama-nama tim sukses atau kerabat pejabat daerah. Dalam situasi seperti itu, keuangan daerah dijadikan instrumen politik, bukan alat pembangunan.

Kita harus berani menyebut bahwa praktik seperti ini adalah bentuk kemalasan struktural. Ketika daerah gagal menggali potensi ekonominya, mereka memilih jalan pintas: mengandalkan transfer pusat, menimbun kas, dan menyalahkan Jakarta atas setiap kesenjangan. Padahal, di era otonomi luas seperti sekarang, ukuran keberhasilan kepala daerah tidak lagi pada berapa besar bantuan pusat yang diterima, melainkan pada seberapa cepat dana itu kembali ke rakyat dalam bentuk pelayanan dan lapangan kerja.

Keberanian Menteri Keuangan membuka “borok” daerah patut diapresiasi. Namun, keberanian itu harus diikuti langkah tegas: menerapkan sanksi fiskal terhadap daerah dengan serapan anggaran di bawah 60 persen, serta mewajibkan transparansi penggunaan dana kas di perbankan. Tanpa mekanisme pengawasan yang kuat, kebijakan moral akan berhenti di ruang wacana.

Purbaya boleh dicinta atau dicela, tergantung dari sisi mana kita memandang. Tapi satu hal pasti: ia sedang menantang budaya lama yang menjadikan APBD sebagai arena rente, bukan alat kemajuan. Dan selama uang rakyat lebih banyak tidur di rekening daripada bekerja di lapangan, kemiskinan tidak akan pernah menjadi musuh yang kalah. Ia justru akan terus dipelihara, menjadi komoditas politik paling laku di republik ini.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *