PERIBAHASA “sudah jatuh tertimpa tangga” barangkali terdengar biasa. Tapi, bagi almarhum dr. H. Muhammad Saleh Suratno, itu bukan sekadar ungkapan. Ia menjalaninya sebagai kenyataan pahit hingga ajal menjemput.
Di masa tuanya, dokter yang dikenal jujur dan bersahaja ini justru wafat dalam pusaran perkara hukum yang menyedihkan. Bukan karena korupsi atau kesalahan pribadi, melainkan karena mempertahankan hak dan nama baik di lembaga sosial yang dulu ia dirikan sendiri: Yayasan Teungku Fakinah.
Tahun 1987, Aceh masih tenang di bawah kepemimpinan Gubernur Prof. Dr. Ibrahim Hasan. Dari niat tulus membantu masyarakat, istri sang gubernur, Dra. Siti Maryam Ibrahim Hasan, mengajak dr. Saleh mendirikan yayasan sosial.
“Bukan untuk mencari untung,” ujar Siti Maryam waktu itu, “tapi untuk membantu masyarakat di bidang kesehatan dan pendidikan.”
Gayung bersambut. Bersama beberapa tokoh lain, mereka menandatangani akta pendirian Yayasan Teungku Fakinah pada 29 Desember 1987. Tujuannya: membangun rumah sakit, balai kesehatan, apotek, hingga lembaga pendidikan tenaga medis. Semuanya demi kepentingan sosial.
Di atas kertas, semuanya tampak ideal. Tapi niat baik di negeri ini sering diuji oleh waktu—dan oleh ambisi manusia.
Dari semua pendiri, hanya Haji Saleh yang benar-benar turun tangan. Ia yang mencari lahan, mengurus izin, menjemput pasien, hingga mengatur dapur rumah sakit. Ia bukan hanya direktur, tapi juga penggerak utama.
Sedikit demi sedikit, berdirilah Rumah Sakit Teungku Fakinah dan Akademi Keperawatan Teungku Fakinah di Banda Aceh. Dari modal awal sekitar satu miliar rupiah, yayasan itu berkembang menjadi lembaga besar dengan aset puluhan miliar. Rumah sakit itu pun menjadi tempat berobat masyarakat kecil dan melahirkan banyak tenaga kesehatan di Aceh.
“Tak mudah menjadikan sesuatu yang tiada menjadi ada,” kata Haji Saleh suatu sore pada 2011. “Tapi jauh lebih sulit menjaga yang sudah ada, apalagi kalau itu bukan milik pribadi, melainkan milik orang banyak.”
Sahabat yang jadi lawan
Setelah lebih dari dua dekade berjalan, badai datang dari arah yang tak disangka. Pihak Siti Maryam—yang dulu menggandengnya di awal pendirian—mengeluarkan surat pemberhentian. Haji Saleh dicopot dari jabatan direktur rumah sakit dan akademi keperawatan yang ia bangun sendiri.
Tak terima diperlakukan semena-mena, ia menempuh jalur hukum. Tahun demi tahun berlalu, sampai akhirnya pada 11 Oktober 2016, Mahkamah Agung memutuskan kemenangan di pihak Haji Saleh.
Putusan itu bahkan mewajibkan pihak lawan untuk mengembalikan hak pengelolaan rumah sakit dan membayar ganti rugi. Namun, keadilan berhenti di atas kertas—putusan itu tak pernah dieksekusi.
Sebaliknya, ketegangan semakin menjadi. Rumah sakit diserbu massa dari kubu lawan, kaca-kaca dipecahkan, ruangan dirusak. Polisi sempat datang meredam keributan, tapi luka batin Haji Saleh tak pernah sembuh.
Sejak hari itu, hidup Haji Saleh tak lagi tenang. Satu demi satu perkara muncul—sengketa aset, gugatan balik, dan eksekusi yang ia anggap tak adil.
Ia kehilangan banyak hal: tenaga, kesehatan, bahkan harta.
Yang lebih menyakitkan, beberapa aset pribadi—termasuk rumah dan tanah yang dibeli bersama istrinya—ikut disita dan dilelang. Padahal, menurut kuasa hukumnya, tindakan itu bertentangan dengan berbagai putusan Mahkamah Agung tentang harta bersama.
“Ini bukan soal jabatan,” kata Haji Saleh lirih suatu ketika. “Ini soal amanah dan nama baik.”
Namun, hukum yang semestinya melindungi justru berbalik menindas. Ia kalah bukan karena lemah, tapi karena keadilan kerap berpihak pada yang kuat.
Akhir yang sunyi
Di tengah proses eksekusi yang belum usai, pada 5 Juni 2020, dr. H. Muhammad Saleh Suratno berpulang. Ia pergi dalam duka yang belum selesai—meninggalkan rumah sakit yang kini tak lagi menyebut namanya, dan perjuangan hukum yang terus diwariskan anak-anaknya.
Hingga kini, keluarga almarhum masih berjuang melalui jalur hukum. Mereka menggugat pelaksanaan lelang yang dianggap sewenang-wenang. Prosesnya kini berjalan di Pengadilan Negeri Banda Aceh.
Humas Pengadilan, Jamaluddin, ketika dikonfirmasi, hanya menjawab singkat: “Saya masih sidang. Nanti saya hubungi kembali.”
Kini, nama dr. Saleh mungkin tak lagi tertera di plakat rumah sakit yang dulu ia bangun. Tapi bagi mereka yang mengenalnya, ia tetap sosok yang jujur, pekerja keras, dan tak kenal menyerah.
Ia bukan sekadar dokter atau birokrat, tapi lambang perjuangan melawan ketidakadilan yang menyaru di balik lembaga sosial.
Dan seperti peribahasa yang membuka kisah ini. Ia memang jatuh, tapi tidak kalah.
Yang tertinggal darinya adalah pelajaran berharga: bahwa di negeri ini, bahkan amal pun bisa diuji oleh kekuasaan. Namun, kejujuran—meski kalah di pengadilan—tak pernah kalah di hati orang-orang yang masih percaya pada kebenaran.[] Jaringan Jurnalis Investigasi Sumatera (JJIS)