Krisis Anggaran; Ujian Sejati bagi Illiza Sang Politikus Nasional

Ilustrasi sosok jemawa (foto dibuat menggunakan ChatGPT)

PEMERINTAH daerah, kini, sedang menghadapi ujian berat. Pemangkasan dana Transfer ke Daerah (TKD) oleh pemerintah pusat memukul hampir seluruh gubernur, bupati atau wali kota, termasuk Banda Aceh. Mereka terpaksa memutar otak agar roda pemerintahan tetap berjalan.

Di tengah situasi yang genting ini, publik menanti bukan sekadar reaksi emosional, melainkan kehebatan sejati para kepala daerah dalam mencari solusi konkret tanpa mengorbankan rakyat.

Wali Kota Banda Aceh, Illiza Sa’aduddin Djamal, telah menyatakan bahwa pemerintahannya akan memprioritaskan pembayaran gaji Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Total kebutuhan anggaran untuk pos ini, diperkirakan, mencapai sekitar Rp 780 miliar per tahun.

Baca juga: TKD Dipangkas, Illiza Prioritaskan Gaji ASN dan PPPK

Keputusan itu masuk akal dari sisi administratif—karena gaji ASN merupakan belanja wajib. Namun, di sisi lain, langkah ini juga menimbulkan pertanyaan serius tentang masa depan layanan publik dan pembangunan kota.

Jika seluruh sisa anggaran hanya terserap untuk gaji aparatur, bagaimana nasib masyarakat yang telah setia membayar pajak? Apakah rakyat hanya dijadikan penonton, sementara uang mereka habis untuk membayar aparatur yang tak lagi memiliki daya dukung bagi pembangunan?

Bagaimana dengan perbaikan jalan, pendidikan, dan layanan kesehatan yang menjadi kebutuhan dasar publik? Di titik inilah logika fiskal dan moral politik diuji secara bersamaan.

Baca juga: Illiza Lantik 17 Eselon II; Ritasari ke DPMG, Hamdani Basyah Tetap DLHK

Lebih jauh lagi, Illiza juga mengimbau para kepala Satuan Kerja Perangkat Kota (SKPK) untuk kreatif mencari sumber pembiayaan di luar Anggaran Pendapatan dan Belanja Kota (APBK). Sebuah imbauan yang di satu sisi terdengar progresif, namun di sisi lain menyimpan potensi bahaya jika tak diatur dengan ketat.

Aktivis antikorupsi di Banda Aceh sudah mengingatkan, ide seperti ini berisiko membuka celah pungutan liar (pungli) atau bentuk penyimpangan lain yang justru merusak kepercayaan publik terhadap pemerintahan.

Baca juga: Purbaya dan Dialektika Baru Politik Ekonomi Indonesia

Sebagai sosok yang pernah mengklaim diri politikus nasional, inilah saatnya Illiza menunjukkan kelasnya. Kehebatan politik tidak diukur dari kemampuan memerintah, melainkan dari kecerdasan mengelola krisis. Ia dituntut menunjukkan kepemimpinan yang kreatif, legal, dan berorientasi publik—bukan dengan menekan bawahan mencari dana “alternatif”, atau meniru praktik “iuran rakyat” seperti kasus di Jawa Barat, yang justru menodai prinsip pemerintahan bersih.

Masalah Banda Aceh sejatinya mencerminkan krisis fiskal nasional yang lebih luas. Berdasarkan data Pemerintah Aceh, TKD untuk provinsi ini pada 2025 dipangkas sekitar 25 persen, sementara di beberapa daerah lain mencapai 30–35 persen.

Pemangkasan ini dilakukan untuk menekan defisit APBN dan menata efisiensi belanja pusat. Namun di lapangan, kebijakan tersebut justru menekan ruang fiskal daerah dan menghambat pelaksanaan program prioritas—dari infrastruktur, layanan kesehatan, hingga kesejahteraan masyarakat.

Tidak heran bila 18 gubernur, termasuk Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem), mendatangi Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk memohon agar pemotongan tersebut ditinjau ulang.

Sayangnya, permintaan itu hanya disambut janji evaluasi tanpa kepastian. Mualem bahkan menilai kebijakan ini bertentangan dengan semangat otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Artinya, krisis fiskal daerah bukan sekadar persoalan angka. Ia adalah ujian bagi sistem politik nasional yang selama ini terlalu bergantung pada pusat. Saat dana dikurangi, barulah tampak siapa kepala daerah yang benar-benar mampu berpikir mandiri, membangun ekonomi lokal, dan menegakkan prinsip akuntabilitas keuangan.

Kini, panggung ujian itu terbuka lebar. Para kepala daerah, terutama mereka yang mengaku sebagai “politikus nasional berpengalaman”, ditantang untuk membuktikan kepemimpinan sejati—kepemimpinan yang berpihak pada rakyat, bukan pada kenyamanan birokrasi.

Pada akhirnya, politik bukan tentang siapa yang berkuasa, melainkan siapa yang mampu bertahan dengan kehormatan di tengah krisis. Saatnya Illiza membuktikan ucapannya. “Saya politikus nasional, Anda masih lokal,” kalimat yang diucapkannya saat debat pilkada 2024 lalu.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *