Teumeunak: Titik Balik Kinerja Penegakan Syariat Islam di Era Digital

Ilustrasi (foto: tangkapan layar TikTok)

FENOMENA teumeunak—mencaci maki dan berkata kasar di ruang publik—tampaknya menemukan panggung barunya di media sosial. Namun di Aceh, persoalannya bukan sekadar kata-kata kasar.

Di TikTok, Instagram, hingga platform hiburan daring lainnya, sejumlah anak muda Aceh kini memamerkan hal-hal yang jauh dari nilai budaya dan syariat: mulai dari hinaan antar sesama hingga konten berbau pornografi.

Ironisnya, sebagian besar pelaku adalah remaja dan perempuan, baik yang tampil tanpa jilbab maupun tetap mengenakan kerudung. Mereka, sadar atau tidak, sedang menjadi “duta digital” yang memperlihatkan wajah Aceh ke mata dunia. Apa yang mereka ucapkan dan lakukan di layar ponsel dapat dengan cepat viral, dan sayangnya, lebih sering meninggalkan citra buruk ketimbang kebanggaan.

Kegagalan Pendidikan dari Rumah

Fenomena ini menguak satu pertanyaan mendasar: di mana peran keluarga? Pendidikan akhlak dan budi pekerti seharusnya dimulai dari rumah. Namun, banyak orang tua hari ini lebih sibuk dengan gawai masing-masing dibandingkan memberi teladan dan pengawasan pada anak.

Baca juga: BREAKING NEWS: Bang Sayed Resmi Laporkan Akun TikTok Abu Laot ke Polda Aceh

Anak-anak kemudian belajar “etika digital” dari lingkungan luar, dari tren media sosial yang justru dipenuhi konten merusak. Hilangnya komunikasi intens antara orang tua dan anak membuat ruang pendidikan keluarga menjadi rapuh. Akibatnya, generasi muda mencari validasi di ruang digital dengan cara instan: konten sensasional, provokatif, bahkan vulgar.

Kondisi ini menunjukkan bahwa keluarga Aceh, yang seharusnya menjadi benteng pertama pendidikan syariat dan moral, mulai goyah menghadapi gempuran modernitas digital.

Pemerintah yang Terlambat Bertindak

Kerap kali, pemerintah Aceh bangga menyebut diri sebagai satu-satunya provinsi dengan penerapan syariat Islam secara kaffah. Namun ketika ruang digital dipenuhi konten yang mencoreng nilai syariat, respon pemerintah justru minim. “Pemerintah tidak boleh hanya bersikap pasif. Harus ada langkah konkret, misalnya aturan khusus dan sistem pengawasan yang jelas terkait penggunaan media sosial agar selaras dengan nilai syariat,” ujar Dr. Jummaidi Saputra, akademisi sekaligus pemerhati sosial.

Menurutnya, regulasi nasional seperti UU ITE dan UU Perlindungan Data Pribadi memang sudah mengatur perilaku bermedia sosial. Namun di Aceh, pengaturan itu perlu disinergikan dengan qanun syariat agar lebih efektif dalam menjaga moral publik.

Sayangnya, kebijakan yang ada lebih banyak bersifat reaktif—baru bergerak ketika kasus mencuat di publik—bukan proaktif melalui edukasi, literasi digital, dan pembinaan generasi muda.

Tantangan Ruang Digital

Media sosial sejatinya memiliki potensi positif: memperluas jaringan, mempromosikan usaha, hingga sarana edukasi. Tetapi tanpa literasi yang kuat, platform ini berubah menjadi lahan subur bagi konten negatif.

Anak-anak muda Aceh kini berada pada titik rawan: meniru tren global yang serba bebas, namun minim filter nilai dari keluarga dan pemerintah. Di sinilah teumeunak dan pornografi digital menjadi gejala kegagalan kolektif, baik di lingkup rumah tangga maupun negara.

Membalik Arah: Dari Teumeunak Menjadi Teladan

Analisisnya jelas: pendidikan akhlak tidak bisa hanya dibebankan kepada sekolah atau pemerintah. Keluarga harus kembali menjadi madrasah utama, memberi teladan, dan mengawasi perilaku anak di dunia maya.

Sementara itu, pemerintah Aceh harus mengambil langkah serius:memperkuat literasi digital berbasis nilai syariat,menggandeng ulama, akademisi, dan lembaga pendidikan,serta menegakkan aturan dengan pendekatan persuasif dan edukatif, bukan sekadar hukuman.

Dr. Jummaidi menegaskan, pengawasan hukum harus disertai edukasi. Kesadaran bermedia sosial harus tumbuh dari hati, bukan sekadar karena takut sanksi.

Menurut dia, jika Aceh gagal menjaga ruang digitalnya, maka penerapan syariat yang dibanggakan itu hanya akan menjadi simbol kosong. “Namun jika berhasil, Aceh bisa menjadi contoh bagaimana nilai Islam mampu hidup harmonis di dunia nyata maupun maya,” demikian Jummaidi.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *