Dasi Biru Muda

Ilustrasi (foto dibuat oleh KabarAktual.id menggunakan AI)

ENTAH ada komando atau sekadar kebetulan yang kemudian menjelma jadi tradisi baru. Beberapa waktu terakhir, para pejabat negeri ini terlihat kompak mengenakan dasi biru muda pada acara resmi.

Seakan ada aturan tak tertulis: di istana, pada pelantikan atau forum kenegaraan—semua seragam dalam satu warna yang lembut namun sarat makna politik.

Rabu, 8 Oktober 2025, di Istana Negara misalnya. Mereka yang dilantik berjejer rapi, nyaris tanpa perbedaan, dengan dasi biru muda menghiasi dada.

Baca juga: Prabowo Lantik 25 Pejabat Tinggi, Termasuk Gubernur dan Wagub Papua

Bahkan, Wakil Presiden Gibran yang semula tampil dengan dasi merah, buru-buru berganti biru dalam sebuah acara resmi di DPR RI beberapa waktu lalu. Seakan ada bisikan gaib yang lebih kuat dari sekadar pilihan pribadi.

Pertanyaan pun mengemuka: siapa sebenarnya yang memberi aba-aba? Apakah ini memang sudah protokol baru, atau sekadar kepatuhan yang lahir dari rasa takut berbeda?

Baca juga: Pendidikan Gibran Membingungkan, dari SMP Langsung Loncat ke S1

Pada masa pemerintahan sebelumnya, dasi pejabat sering berwarna menyala, selaras dengan merah yang identik dengan partai pengusung presiden kala itu. Kini, warna berganti menjadi biru muda. Bukan biru tua, melainkan biru lembut yang pernah melekat pada seragam Prabowo–Gibran saat pilpres lalu.

Pilpres memang sudah lama usai, tetapi biru muda rupanya masih bertahan. Ia kini hidup dalam potongan kain sempit di leher pejabat, menjadi tanda loyalitas baru.

Dasi biru muda itu tidak lagi sekadar mode, tapi semacam paspor: siapa yang memakainya dianggap bagian dari barisan, siapa yang enggan dianggap asing di dalam lingkaran kuasa.

Masalahnya, budaya seragam semacam ini bukanlah hal baru. Kita punya pejabat yang cepat sekali meniru, latah, tak ingin berbeda. Bagi mereka, aman itu lebih penting daripada otentik. Warna lebih dipikirkan ketimbang gagasan. Kekompakan semu lebih diutamakan daripada keberanian mengajukan jalan lain.

Biru muda mungkin indah, menyejukkan mata, bahkan bisa melambangkan harapan. Namun, bila ia berubah menjadi simbol kepatuhan buta, maka rakyat hanya akan kembali disuguhi tontonan lama: pejabat yang sibuk menyesuaikan diri demi kenyamanan posisi, bukan bekerja sungguh-sungguh untuk kepentingan publik.

Dasi itu akhirnya menjadi metafora. Kain kecil di leher, tapi mampu mencekik pikiran. Membuat para pejabat lebih peduli pada keseragaman citra ketimbang kebebasan berpikir. Mereka rela menjadi deretan kloning dengan warna yang sama, agar terlihat “aman” di mata penguasa.

Padahal, rakyat tidak butuh dasi. Rakyat butuh kebijakan. Rakyat tidak menagih biru muda, merah, atau warna apa pun. Yang mereka tunggu adalah kerja nyata, keberanian menghadapi masalah bangsa, dan kemampuan melahirkan solusi.

Sayangnya, budaya ikut-ikutan telah mengakar. Dari cara berpakaian hingga cara berpikir. Dari warna dasi hingga arah kebijakan. Semua ingin selamat, semua ingin nyaman.

Dalam situasi demikian, biru muda hanya menjadi simbol: indah di mata penguasa, tapi hampa di mata rakyat.

Jika begitu, dasi biru muda hanyalah tanda bahwa kita belum benar-benar merdeka dari budaya latah—kebiasaan pejabat yang lebih sibuk mengikat leher sendiri daripada menunaikan janji kepada rakyat.

Wahai para pejabat: jangan biarkan warna mengekang pola pikir. Jangan biarkan kain di leher lebih kuat daripada nurani di dada. Rakyat tidak butuh warna tapi kerja; bukan simbol, tapi keberanian.

Dasi boleh biru muda, merah, atau hitam sekalipun—asal kebijakanmu tidak ikut-ikutan, asal hatimu tetap berpihak pada rakyat.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *