Opini  

80 Tahun Indonesia Merdeka, Kenapa Nobel Masih Jauh dari Jangkauan?

Avatar photo
Sosok tiga ilmuwan penerima hadiah Nobel Fisika 2025 (foto: YouTube/The Nobel Prize)

PADA tahun 2025, dunia kembali terpesona dengan kilau Hadiah Nobel, penghargaan paling bergengsi untuk para pelaku ilmu pengetahuan, sastra, dan perdamaian. Kali ini, ilmuwan dari Amerika Serikat dan Jepang menjadi bintang utama.

Mereka membuka pengetahuan baru tentang sistem kekebalan tubuh dan dunia kuantum yang penuh misteri. Penemuan ini tak hanya menambah wawasan manusia, tapi juga menyelamatkan nyawa dan meningkatkan kualitas hidup jutaan orang di seluruh dunia.

Tapi, di tengah kegembiraan ilmiah global ini, Indonesia masih jadi penonton setia. Negara kita yang sudah merayakan 80 tahun kemerdekaan belum pernah melahirkan ilmuwan yang meraih Nobel. Ini bukan hanya soal nama Indonesia absen dari daftar pemenang.

Baca juga: Jokowi Tokoh Terkorup di Dunia Versi OCCRP

Lebih dalam lagi, ini cerminan bahwa kemampuan riset, kualitas penelitian, dan semangat inovasi kita masih tertinggal dibanding negara lain. Menunggu Nobel berarti menunggu kematangan bangsa dalam berpikir tajam, berinovasi, dan memberi manfaat besar bagi dunia lewat karya ilmiah yang mengubah hidup.

Nobel: Cermin Bangsa

Hadiah Nobel pertama kali diberikan tahun 1901. Sejak itu, ia jadi simbol tertinggi pengakuan atas prestasi ilmiah dan kemanusiaan. Alfred Nobel, pen punya ratusan paten, mewariskan hartanya untuk mendorong kemajuan peradaban. Ada enam kategori utama: Fisika, Kimia, Kedokteran, Sastra, Perdamaian, dan Ekonomi. Semua ini bidang dasar yang membentuk kehidupan manusia.

Nobel bukan cuma medali atau uang hadiah. Ia jadi pendorong semangat. Sosiolog Robert K. Merton pernah bilang tahun 1973 bahwa penghargaan seperti ini memberi insentif, menguatkan posisi individu dan lembaga, serta menginspirasi komunitas global. Singkatnya, Nobel ciptakan teladan: ia tunjukkan standar tertinggi yang bisa dicapai lewat riset atau karya hebat.

Baca juga: Sadisnya Medsos! Jokowi Disebut Mustafa Kemal Atatürk-nya Indonesia

Lihat saja negara-negara Asia Timur seperti Jepang dan Korea Selatan. Mereka bukti bahwa investasi konsisten di riset dan pengembangan bisa hasilkan prestasi gemilang. Jepang saja sudah raih lebih dari 25 Nobel sains sejak 1949, berkat kebijakan nasional yang selalu prioritaskan penelitian dasar.

Indonesia punya modal besar: sumber daya alamah, budaya beragam, dan bakat intelektual tinggi. Tapi, tanpa pendidikan bagus, dana cukup, dan lingkungan riset yang sehat, potensi itu sulit jadi inovasi kelas dunia.

Tantangan Besar di Balik Ilmu Pengetahuan Indonesia

Sudah 80 tahun merdeka, tapi Indonesia masih berjuang keras bangun ekosistem riset yang kompetitif. Masalah utama? Investasi riset minim banget. Anggaran riset kita cuma sekitar 0,3% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Angka ini jauh ketinggalan dari negara maju atau bahkan tetangga di Asia Tenggara. Akibatnya, ilmuwan kesulitan lakukan riset canggih, beli alat lab modern, atau jalankan proyek panjang yang bisa lahirkan penemuan revolusioner.

Kualitas pendidikan dan fasilitas riset juga jadi isu serius. Banyak lab di sini kurang peralatan terkini. Akses ke jurnal internasional terbatas, jadi peneliti muda susah ikuti tren ilmu pengetahuan terbaru.

Tak jarang, ilmuwan berbakat pilih tinggalkan Indonesia, cari tempat di luar negeri yang lebih mendukung. Ini disebut brain drain, kehilangan besar yang bikin kemampuan inovasi kita makin lemah.

Kolaborasi internasional juga masih minim. Padahal, sejarah Nobel tunjukkan penemuan besar biasanya lahir dari kerja sama lintas negara, bukan usaha sendirian. Karena kurang terlibat di jaringan global, riset Indonesia jarang masuk obrolan ilmiah dunia.

Belum lagi budaya ilmiah kita yang belum matang. Di lembaga riset dan universitas, penghargaan untuk peneliti sering nggak memadai. Insentif untuk publikasikan karya di jurnal top rendah, sementara minat anak muda dalami sains belum kuat. Hasilnya, banyak ide inovatif mandek di awal, tak pernah go global.

BRIN: Janji Modernitas vs Realita Lapangan

Untuk mengatasi keterbelakangan ini, pemerintah membuat Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sebagai satu-satunya lembaga pengelola riset di Indonesia. Secara struktur, BRIN kelihatan modern. Layanannya lengkap: dari kelola talenta, simpan data ilmiah, sampai urus lab canggih seperti teknologi nuklir.

Tapi, di lapangan, ceritanya beda. Banyak program BRIN masih terjebak urusan administratif dan formalitas. Contohnya, sistem manajemen talenta yang lebih fokus ke sertifikat profesi dan ijazah resmi, tapi kurang tangani kebutuhan riset mutakhir.

Padahal, ada banyak orang berbakat yang belajar mandiri (otodidak) atau ilmuwan muda sukses di luar jalur formal. Mereka sering terabaikan karena nggak cocok dengan aturan sertifikasi.

Ingat, Nobel diberikan untuk penemuan yang mengubah dunia, bukan karena patuh birokrasi. Lab nuklir atau database ilmiah memang bagus, tapi tanpa dana riset melimpah, kolaborasi internasional kuat, dan budaya yang mendukung kreativitas, semua itu sulit menghasilkan karya berpengaruh global.

Jalan Panjang Menuju Nobel

Membawa Indonesia ke panggung Nobel bukan urusan sehari dua hari. Butuh strategi besar yang dijalankan secara konsisten. Langkah pertama: naikkan anggaran riset. Negara-negara pemenang Nobel biasa alokasikan 1-2% PDB untuk riset. Tanpa dana yang cukup, peneliti kita bakal stuck di eksperimen kecil, tanpa peluang terobosan.

Pendidikan sains dan teknologi harus diperkuat dari dasar. Bukan cuma tambah jam belajar atau hafal buku tebal. Yang penting: tanamkan budaya berpikir kritis, skill eksperimen, dan kebiasaan selesaikan masalah rumit. Anak muda harus akrab dengan metode ilmiah dan terbuka ide baru. Hanya dengan pondasi kuat, talenta hebat bisa lahir dan bersaing dunia.

Kolaborasi global juga kunci. Pemenang Nobel hampir selalu kerja di jaringan riset internasional: akses lab top, bagi data, tukar metode. Indonesia harus membuka lebar-lebar pintu buat peneliti lokal untuk ikut proyek global. Ini bisa tingkatkan publikasi ilmiah, kualitas riset, dan pengakuan inovasi kita.

Tapi, semua sia-sia kalau ekosistem riset dalam negeri tetap kaku. Sistem yang cuma menilai ijazah dan sertifikat harus diubah. Akui talenta otodidak dan peneliti non-konvensional. Penghargaan harus nyata: dana riset, kesempatan publikasikan karya, akses fasilitas dunia, dan karir menjanjikan.

BRIN perlu berubah total. Jangan jadi lembaga birokrasi semata, tapi ekosistem inovasi yang hidup dan dinamis. Beri peneliti kebebasan, dukungan penuh, dan akses jaringan internasional. Baru deh riset Indonesia bisa lepas dari rutinitas kantor dan hasilkan penemuan berdampak besar.

Menanti Momen Bersejarah

Hadiah Nobel lebih dari sekadar trofi mewah. Ia cermin bagaimana dunia hargai kontribusi ilmuwan suatu negara untuk kemajuan umat manusia. Bagi Indonesia, Nobel pertama bakal jadi tanda penting: kita tak hanya jaga kemerdekaan politik, tapi juga berdiri tegak di panggung ilmu pengetahuan global.

Jalan ke sana panjang, penuh liku, dan tantangan. Tapi, bukan mustahil. Dengan investasi serius, reformasi pendidikan yang mendalam, kolaborasi dunia yang aktif, dan budaya ilmiah sehat, Indonesia bisa siap menyambut momen itu.

Bayangkan suatu hari nanti, nama ilmuwan Indonesia diumumkan dari Stockholm sebagai pemenang Nobel pertama kita. Saat itu tiba, dunia akan sadar: Indonesia tak cuma kaya alam dan budaya, tapi juga memberi sumbangan ilmu berharga untuk seluruh umat manusia.[]

:: Ruben Cornelius Siagian, seorang peneliti independen aktif menulis dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan opini publik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *