PEMOTONGAN Transfer ke Daerah (TKD) oleh pemerintah pusat memicu kegelisahan di banyak provinsi. Di Aceh, rencana pemotongan mencapai sekitar 25 persen dibanding alokasi sebelumnya.
Data resmi menunjukkan alokasi TKD Aceh 2025 sebesar Rp 32,29 triliun dari total belanja daerah Rp 46,98 triliun. Namun pusat memangkas sejumlah pos: Dana Otonomi Khusus (Otsus) berkurang Rp156,7 miliar. DAK Fisik dipotong Rp104,2 miliar. DAU dipangkas Rp 56,3 miliar. Totalnya, TKD Aceh turun menjadi Rp 31,97 triliun atau berkurang sekitar Rp 317,4 miliar.
Pemerintah Aceh khawatir pemangkasan ini berdampak pada kemampuan membayar gaji ASN dan menjalankan program prioritas.
Baca juga: Ini 18 Gubernur yang Berani Protes Kesewenang-wenangan Pusat Potong TKD
Situasi lebih parah terjadi di Maluku Utara. Dana Bagi Hasil (DBH) daerah itu dipangkas hingga 60 persen, dari Rp 10 triliun menjadi Rp 6,7 triliun.
Sentralisasi Berkedok Antikorupsi
Kebijakan ini bukan sekadar teknis fiskal. Ia menyentuh jantung otonomi daerah.
Sejak reformasi, desentralisasi hadir untuk menghindari kerusakan akibat pemerintahan sentralistik di masa lalu. Kini, dengan alasan pencegahan korupsi, pusat kembali menarik kendali anggaran. Padahal, gubernur, bupati, dan wali kota lebih tahu apa yang dibutuhkan masyarakat di daerahnya masing-masing.
Baca juga: Dana Transfer Pusat bukan Dosa tapi Kewajiban Negara
Alasan “korupsi daerah” juga terasa janggal. Apakah dengan seluruh anggaran dikelola pusat, negeri ini akan bebas dari praktik korupsi? Fakta menunjukkan justru sebaliknya.
Kasus korupsi di Pusat
Beberapa kasus besar justru terjadi di level pusat:
- Pertamina: dugaan korupsi tata kelola minyak dan produk kilang dengan kerugian negara sekitar Rp193,7 triliun.
- Pengadaan LNG Pertamina: merugikan negara Rp 2,1 triliun, menjerat mantan Dirut Karen Agustiawan.
- Skandal e-KTP: melibatkan Setya Novanto, kerugian negara Rp2,3 triliun.
- Kasus BLBI: salah satu skandal keuangan terbesar era krisis 1998, dengan kerugian ratusan triliun.
Data KPK 2024: terdapat 1.666 kasus korupsi yang ditangani, dari pusat hingga daerah. Daftar ini membuktikan korupsi bukan monopoli daerah. Korupsi adalah penyakit sistemik yang juga mengakar di pusat kekuasaan.
Dampak Pemotongan
Jika kebijakan pemotongan tetap diterapkan, Aceh dan daerah lain akan menghadapi risiko serius:
1. Gaji ASN dan tenaga kontrak terancam tidak terbayar.
2. Proyek infrastruktur mangkrak.
3. Pelayanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan menurun.
4. Krisis fiskal karena PAD daerah tidak cukup menutup defisit.
5. Kesenjangan antarwilayah makin melebar.
Yang dirugikan bukanlah pejabat, melainkan rakyat kecil. Petani kehilangan subsidi, pelajar kehilangan beasiswa, pasien kehilangan layanan kesehatan.
Korupsi memang musuh bersama. Tapi menjadikannya alasan untuk memangkas TKD adalah pendekatan keliru dan tidak adil.
Alih-alih menghukum rakyat di daerah, pemerintah pusat seharusnya memperkuat mekanisme pengawasan, transparansi, dan akuntabilitas di semua lini. Potong kebocoran, bukan potong hak rakyat.
Otonomi daerah adalah fondasi demokrasi kita. Menghormatinya berarti menghormati rakyat. Jangan biarkan kesalahan segelintir pejabat dijadikan dalih untuk merampas hak seluruh daerah.[]