Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sedang jadi sorotan tajam di seluruh Indonesia, tak terkecuali DPRA dan DPRK di Aceh. Rakyat mengkritik sikap, perilaku, serta fasilitas dan tunjangan fantastis yang dinikmati para wakilnya di parlemen di tengah kondisi ekonomi mereka yang terabaikan.
Fenomena ini mencerminkan rendahnya kepekaan terhadap realitas rakyat yang tengah dilanda krisis ekonomi, gelombang PHK, dan berbagai persoalan mendesak lainnya. Alih-alih berempati dan menahan diri, para legislator justru sibuk menaikkan tunjangan dan memperkaya fasilitas pribadi.
Potret ini adalah “cermin retak” yang memantulkan wajah buram parlemen hari ini—hasil dari pragmatisme politik yang menomorsatukan popularitas, seperti merekrut artis dan influencer, namun mengesampingkan kapasitas intelektual dan integritas.
Baca juga: Demokrasi di Persimpangan: Tatkala Idealisme Mati, Pragmatisme Jadi Raja
Kecenderungan anggota DPR untuk memilih berada di zona nyaman semakin tampak dari data faktual. Berdasarkan catatan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), tingkat kehadiran anggota DPR dalam rapat-rapat resmi sering kali rendah, bahkan ada yang hanya hadir secara simbolis tanpa kontribusi berarti dalam pembahasan undang-undang.
Baca juga: DPR dan Budaya “Muka Tebal”
Laporan ICW (Indonesia Corruption Watch) juga menegaskan, DPR secara konsisten menempati posisi lembaga negara dengan tingkat kepercayaan publik paling rendah, hanya sekitar 20–25% dalam berbagai survei nasional. Kritik serupa muncul dari LIPI/BRIN, yang menilai DPR lebih sibuk mengurus kepentingan elektoral dan internal partai ketimbang memperjuangkan agenda rakyat.
Fenomena “zona nyaman” ini semakin diperparah dengan berbagai fasilitas mewah yang diterima legislator, mulai dari tunjangan rumah, kendaraan dinas, perjalanan luar negeri, hingga asuransi kesehatan premium. Ironisnya, di saat publik menanggung beban ekonomi yang kian berat, parlemen justru terus memperluas privilese yang mereka nikmati.
Baca juga: DPR Pangkas Tunjangan, Gaji Bersih Anggota Jadi Rp 65 Juta per Bulan
Ini bukan sekadar tren politik, melainkan tanda kemerosotan etika dan standar rekrutmen wakil rakyat. Sejarah Pemilu 1999 misalnya, diwarnai hadirnya politisi dengan basis perjuangan, pemikiran, dan rekam jejak yang jelas.
Kini, DPR cenderung diisi figur panggung hiburan dan media sosial. Akibatnya, fungsi legislasi, pengawasan, dan representasi rakyat semakin dangkal, terperangkap dalam pencitraan, bukan substansi.
Kondisi ini adalah alarm keras bagi demokrasi. Pemerintah dan penyelenggara pemilu perlu segera mengevaluasi sistem rekrutmen partai politik. Reformasi menyeluruh menjadi keharusan, agar parlemen tidak kehilangan otoritas moral dan intelektual, serta terhindar dari degradasi menjadi panggung glamor yang miskin visi.
Rakyat tidak membutuhkan para bintang, rakyat butuh kebijakan yang lahir dari akal sehat, berani, dan membela kepentingan publik tanpa kompromi.
Fakta Terkini (2025)
1. Kepercayaan Publik terhadap DPR Sangat Rendah (Mei 2025)
Survei nasional oleh Indikator Politik Indonesia yang digelar pada 17–20 Mei 2025 (1.286 responden, margin of error ±2,8 %) menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap DPR tergolong rendah:
Sangat Percaya: 7,7%
Cukup Percaya: 63,3%
Tidak Percaya: 20,0%
Tidak Percaya Sama Sekali: 3,35%
Dengan demikian, total yang memberikan percaya (sangat + cukup) hanya sekitar 71%, sedangkan lebih dari 20% publik menyatakan tidak mempercayai DPR.
Survei Januari 2025
Survei serupa dari Indikator Politik Indonesia, dilaksanakan 16–21 Januari 2025 (1.220 responden), menemukan tingkat kepercayaan hanya sebesar 69%. DPR menempati peringkat ke-10 dari 11 lembaga yang disurvei—tertingkat kepercayaan publiknya jauh di bawah Presiden (97%), TNI (94%), dan Kejaksaan Agung (79%) .
Pada Agustus 2025, demonstrasi publik meletus di berbagai kota karena kekesalan terhadap fasilitas dan penghasilan anggota DPR. Beberapa sumber menyoroti angka sangat tinggi:
Gaji dan tunjangan anggota DPR disebut lebih dari Rp 100 juta per bulan.
Fitra (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran) menyebut angka tersebut bahkan bisa mencapai Rp 230 juta per bulan.
Namun, Mahfud MD menanggapi bahwa gaji sebenarnya berada pada kisaran miliaran per bulan menurut pandangannya.
Protes ini menjadi simbol ketidaksesuaian antara kehidupan mewah legislatif dan realitas rakyat yang terpukul ekonomi.
Menurut survei Indikator Politik Indonesia (17–20 Mei 2025), hanya sekitar 71 % masyarakat yang masih menyatakan percaya (sangat/cukup) kepada DPR—sementara lebih dari 20 % terang-terangan menyatakan tidak percaya. Ini menjadi sorotan tajam terhadap legitimasi parlemen.
Survei serupa di awal tahun (Januari 2025) bahkan menempatkan DPR di posisi 10 dari 11 lembaga negara dalam hal kepercayaan publik, dengan tingkat kepercayaan hanya sebesar 69 %.
Ironisnya, kritik publik tidak hanya soal kepercayaan, tapi juga soal gaji dan fasilitas fantastis. Pada Agustus 2025, Fitra mengungkap bahwa gaji dan tunjangan anggota DPR bisa mencapai Rp 230 juta per bulan, bahkan sempat disebut berada di kisaran miliaran menurut pandangan pejabat negara tertentu—menyulut kemarahan langsung dari masyarakat di tengah beban ekonomi yang semakin menekan.[]