Pak Pati; Potret Buram Pemenang Pilkada

PENGGUNAN kata “Pak Pati” di sini terinspirasi dari sebuah anekdot. Dari “pertengkaran” yang menggelitik antara seorang ayah (di timur; mungkin Sulawesi) dengan anak gadisnya.

“Disampaikan kepada orang perintah … supaya menyampaikan kepada pak pati … dst.” Begitu cuplikan video anekdot itu.

Kesalahan ucap sang bapak, kemudian, dikoreksi oleh putrinya. “Bukan pak pati, tapi bupati.”

Seperti pembaca pernah menonton video tersebut, si bapak bukannya menerima masukan anaknya. Dia justeru marah-marah; menunjukkan sok kuasa.

“Tapi dia laki-laki, bagaimana? Kau anak kemarin sore tahu apa?” bentak si bapak.

Dari “cerita lawak” tersebut, kita pinjam saja kata Pak Pati untuk menggantikan penyebutan lengkap jabatan Bupati Kabupaten Pati, Sudewo, yang sedang viral itu. Biar mudah kita panggil saja dia dengan Pak Pati, sehingga tidak repot-repot menulis Bupati Kabupaten Pati. Terlalu ribet. Kita persingkat saja dengan Pak Pati. Hehehe

Pak Pati — seperti dalam anekdot — adalah sosok yang arogan. Dia tidak layak disebut pemimpin, tapi lebih pantas sebagai pemenang pilkada. Sebagai pemenang makanya dia jemawa; tidak menghargai rakyat dan suka sewenang-wenang.

Dalam sebuah kesempatan, dia berpidato. Sudewo mengingatkan jajaran pemerintahannya (mungkin juga rakyat Pati) agar tidak menyamakan kepemimpinannya dengan pejabat terdahulu. “Saya punya gaya kepemimpinan sendiri,” tegasnya.

Arogansi Sudewo memuncak saat dia menaikkan PBB hingga 250 persen. Alasannya karena Pati tidak pernah menaikkan pajak selama 14 tahun. Setelah menaikkan pajak itu, kata Sudewo, ia ingin membangun Pati lebih maju lagi.

Rakyat marah. Mereka berontak. Penggalangan massa terjadi. Bala bantuan datang dari berbagai penjuru menunjukkan simpati untuk masyarakat Pati yang tertindas. Bukan hanya dari orang sekitar, bantuan logistik untuk pengunjuk rasa datang dari luar Pati, bahkan dari TKI dari luar negeri.

Apa yang dilakukan publik adalah ingin menunjukkan bahwa mereka tidak mau ditindas. Mereka tidak sudi dipimpin oleh sosok pemenang pilkada bergaya preman.

Pemenang pilkada tidak bisa diidentikkan dengan pemimpin. Beda! Seseorang yang disebut pemimpin dimana-mana dicintai rakyat; disegani juga dicintai. Sudewo tidak memiliki itu. Setelah didemo ratusan ribu massa, sekarang dia tidak punya marwah sama sekali.

Sudewo lupa, bahwa jabatan yang dia emban diperoleh lewat pilkada, dengan berharap suara rakyat. Dia juga lupa, bahwa bupati itu bukan raja. Sehingga dia tidak pantas arogan dan berlaku sewenang-wenang.

Setelah kehilangan simpati rakyat, dia tidak lebih ibarat seonggok daging yang tak berharga yang diangkut kemana-mana menggunakan mobil dinas bupati. Dia tidak lagi punya harga diri.

Meskipun aksi demonstrasi ratusan ribu warga, sebagian berasal dari luar Pati, belum tentu membuahkan hasil pemakzulan Sudewo dari jabatan bupati, tapi setidaknya aksi itu sudah cukup memberi pelajaran berharga. Bahwa, kepemimpinan Sudewo sudah tidak diharapkan lagi.

Kalau dia masih punya harga diri, sudah selayaknya mengundurkan diri secara sukarela. Seperti dicontohkan oleh seorang Wali Kota dari Prefektur Shizuoka, Jepang, Maki Takubo, yang mengundurkan diri karena ketahuan menggunakan ijazah palsu.

Atau, lihatlah Direktur Utama (Dirut) PT Agrinas Pangan Nusantara, Joao Angelo De Sousa Mota, yang meletakkan jabatan akibat bobroknya birokrasi. Kedua tokoh itu lebih mementingkan integritas moral dari sekedar sebuah jabatan. Mereka masih punya pikiran waras.

Pak Pati adalah salah satu contoh dari fenomena gunung es perilaku buruk para pemenang pilkada. Masih banyak lagi yang belum terungkap. Ibarat monster, mereka akan melahap rakyat yang lemah dan tak kuasa berontak. Inilah buah pahit hasil pilkada kita.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *