KabarAktual.id – Mafia gas bersubsidi 3 kilogram kembali bergentayangan di seantero Aceh. Akibat ulah mereka, gas melon yang di pangkalan dijual Rp 18 ribu per tabung melonjak tinggi hingga Rp 40 ribu di kios-kios pinggir jalan.
Pantauan media ini, Kamis (17/7/2025), para pedagang kios yang tidak memiliki izin penjualan gas menjual barang bersubsidi terseut dengan harga Rp 34 ribu hingga Rp 38 ribu. “Di saat-saat tertentu bisa mencapai Rp 40 ribu, bahkan Rp 45 ribu,” ujar Pak Wir, seorang penjual ayam geprek di kawasan Lampriet, BandaAceh.
Pensiunan ASN ini mengatakan lebih sering membeli gas melon di kios langganannya dengan harga Rp 34 ribu. Dia bukan tidak mau membeli di pangkalan resmi. “Di sana tidak tentu kapan masuknya. Kadang seminggu, kadang 2 minggu sekali. Itu pun gak bisa beli lebih dari satu, sedangkan saya butuh 4 tabung setiap hari,” ucapnya.
Permainan harga elpiji 3 kg ini, kelihatannya, tidak hanya terjadi di satu atau dua daerah tapi hampir merata di seluruh Aceh. Seperti di Abdya, harga gas di daerah ini semakin tidak masuk akal.
Sejumlah kios dan pedagang eceran di sana menjual gas melon jatah masyarakat miskin dengan harga Rp 35.000 hingga Rp 40.000 per tabung. Apa yang mereka lakukan itu jauh dari ketentuan harga eceran tertinggi (HET) yang telah ditetapkan pemerintah.
Meski permainan harga tersebut terus berulang saban hari, tapi terkesan seperti luput dari pengawasan pihak terkait. Ketika masyarakat jadi bulan-bulanan mafia gas 3 kg, mereka merasakan daerahnya seperti tidak ada pemerintahan. “Seperti hidup di belantara Afrika, tidak ada perlindungan dari pemerintah,” ujar seorang warga Abdya.
Sebuah sumber menyebut, kelangkaan gas terjadi akibat permainan oknum pemilik pangkalan. Mereka sengaja menahan stok untuk kemudian secara diam-diam menyuplainya ke kios-kios liar dengan harga tinggi. “Dengan demikian, mereka dapat untung besar,” ujarnya.
Situasi ini, sambungnya, bertambah parah akibat pengawasan yang dilakukan tidak serius dan hanya formalitas semata. Hal diyakini akibat sejumlah pangkalan merupakan milik orang dalam atau penguasa. “Kalau serius mau menertibkan, gampang sekali. Tapi mereka memang tidak punya niat. Hanya basa-basi,” pungkasnya.[]