KabarAktual.id – Rencana Pemko Banda Aceh memungut pajak kos-kosan/hunian/rumah sewa dinilai sebagai kebijakan ugal-ugalan dan tidak rasional. Kemandirian fiskal yang dijadikan basis argumentasi juga terdengar konyol karena kebijakan itu akan memindahkan beban kepada masyarakat kecil.
Melansir KabarAktual.id, Senin 14 Juli 2025, Pemko Banda Aceh di bawah kepemimpinan Illiza Sa’aduddin Djamal berencana memungut pajak kos-kosan sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) baru. Rencana tersebut sudah diajukan dalam Rancangan Qanun Perubahan Pajak dan Retribusi Daerah yang diserahkan Illiza kepada DPRK setempat, Senin (14/7/2025).
Menurut Illiza, jasa penyewaan hunian seperti rumah kos, termasuk fasilitas listrik dari pembangkit mandiri, dimasukkan ke dalam kategori barang dan jasa tertentu yang dikenai pajak. Kebijakannya itu bertujuan menciptakan keadilan fiskal dan menggali potensi PAD dari sektor usaha sewa hunian yang selama ini belum dikenai pajak secara formal. “Penyesuaian ini untuk menciptakan keadilan fiskal, terutama terhadap usaha komersial yang selama ini belum tergarap optimal,” ujarnya.
Menurut dia, langkah ini merupakan bagian dari reformasi fiskal Pemko Banda Aceh yang menargetkan peningkatan PAD tanpa membebani masyarakat kecil. “Kami juga menyiapkan ketentuan tarif khusus, pembebasan, dan pengecualian bagi pelaku UMKM dan kelompok rentan,” tegasnya.
Illiza memastikan bahwa revisi qanun pajak yang mengatur rumah kos sebagai objek pajak akan tetap berpihak pada masyarakat kecil. Rumah kos skala kecil, kata dia, akan mendapat pengecualian atau keringanan pajak melalui tarif khusus yang diatur dalam pasal tambahan.
Baca juga: Siap-siap …! Rumah Kos di Banda Aceh Akan Dikenakan Pajak
Menaggapi hal itu, Pengamat Kebijakan Publik dan Pemerintahan Dr. Taufik Abd Rahim mengatakan, bahwa alasan menghindari ketergantungan kepada Pemerintah Pusat Jakarta sebagai pembenaran memungut pajak rumah kos justeru itu cara berpikir simplifikasi. “Kenapa memutarbalikkan fakta? Justeru Pusat yang tidak punya apa-apa. Mereka yang mengeruk hasil alam daerah dan hanya mengembaikannya beberapa tetes saja ke daerah,” ujarnya kepada KabarAktual.id, Kamis (17/7/2025).
Akademisi ini balik bertanya, apakah selama ini Pusat telah jujur dan terbuka soal data hasil alam yang telah mereka ambil? Karena itu, kata Taufik, rencana Wali Kota Illiza Sa’duddin Djamal memajaki rumah kos tidak punya landasan berpikir logis. Kebijakan itu tidak rasional, bahkan cenderung konyol, karena hanya akan membebani kehidupan masyarakat.
Menurut Dr Taufik, sebuah kebijakan dalam keputusan politik ekonomi dapat dipastikan bakal menimbulkan multiplier effect, tidak hanya positif, tapi juga negatif. Kondisi keuangan dalam gambaran penerimaan fiskal dan moneter dalam sektor penerimaan anggaran belanja publik nasional dan daerah, ini semua tidak terlepas dari kondisi realitas ekonomi.
Dikatakan, siklus ekonomi, baik mikro maupun makro harus menjadi stimulus yang menguntungkan, baik sektor rumah tangga individu/masyarakat atau (house hold/HH), swasta (firm), dan pemerintah (government). Karena itu, kebijakan pemerintah akan mengenakan pajak rumah kos sebagai upaya meningkatkan fiskal untuk meningkatkan penerimaan anggaran belanja publik, seperti APBD kabupaten/kota, berada dalam ranah tiga aktivitas ril sektor ekonomi.
Hal prinsipil yang tidak boleh dikesampingkan, kata dia, adalah pertimbangan rasional ekonomi dan kondisi ril kehidupan perekonomian masyarakat. Sehingga tidak asal-asalan atau sembarangan menetapkan keputusan yang dapat menciptakan kondisi kehidupan semakin sulit, rumit, dan menyengsarakan rakyat.
Dr. Taufik mengingatkan, Pemko harusnya mengayomi, bukan malah membebani pajak terhadap kreativitas ekonomi masyarakat yang dengan susah payah membangun usaha kos-kosan atau rumah sewa. “Dengan adanya hunian, mereka telah ikut membantu rakyat lainnya, seperti mahasiswa serta keluarga dengan pendapatan yang terbatas secara ekonomi,” ucapnya.
Dia menambahkan, langkah itu sesungguhnya akan menimbulkan multiplier effect policy economics. Kebijakan itu akan berdampak buruk terhadap masyarakat kecil karena pemilik kos-kosan atau hunian akan menggeser beban pajak kepada konsumen (masyarakat) penyewa, dengan cara menaikkan harga sewa rumah. “Apakah ini yang disebut kebijakan prorakyat,” tanya Taufik.
Diingatkan pula, bahwa para penghuni kos-kosan itu belum tentu orang dengan tingkat ekonomi yang memadai. Sebagian besar dari mereka adalah mahasiswa dengan latar belakang beragam. Ada anak petani, nelayan, dan rakyat kecil lainnya. Jika kepada mereka dibebani tambahan biaya pajak, sebut Taufik, bukan tidak mungkin akan mengancam masa depan. Mereka akan semakin kesulitan meneruskan kuliah.
Di sisi lain, ia melihat, kebijakan yang seenaknya menindas rakyat itu lahir dari pola pikir orang-orang yang telah menjadi “kaki tangan” Pusat. Hal itu terjadi sebagai konsekuensi hubungan politik “patront and client”. “Hubungan antara tuan dan cuan,” tandasnya.
Dalam pola relasi kekuasaan seperti itu, sambungnya, seorang penguasa tidak memihak rakyat. Dia tidak peduli apakah kebijakan yang diambilnya itu rasional atau tidak. “Dia membuat alasan yang mengada-ada sebagai pembenaran hanya untuk mencari tambahan penerimaan daerah,” kata Taufik.
Dikatakan, kepala daerah dengan pola hubungan patront and client akan kehilangan kreativitas ekonomi, tumpul nalar, dan dengan mudahnya membebani sektor swasta seperti pelayanan jasa kos-kosan atau rumah sewa. “Dia tidak peduli itu, yang penting tetap terlihat baik di mata Pusat,” ungkapnya.
Dalam analisis sederhana secara ekonomi mikro dan makro, lanjutnya, wali kota tidak mampu meningkatkan siklus ekonomi yang lebih baik serta akan terjadi stagnasi ekonomi, kekacauan, dan tidak pro-rakyat dalam memajukan ekonomi rakyat Banda Aceh. “Sudah tidak mampu membantu meringankan beban masyarakat, jangan menambah beban mereka,” sergahnya.
Taufik menyesalkan, ketika wali kota tidak mampu membantu meringankan beban masyarakat yang beraktivitas ekonomi secara mandiri dengan membuat rumah sewa, malah membebani pungutan fiskal (pajak dan retribusi). Hal ini secara ekonomi akan menjadikan sektor jasa rumah sewa mengalami kelesuan ekonomi, dan masyarakat pengguna jasa rumah sewa akan terbebani dengan kebijakan yang tidak pro-rakyat tersebut.
Di samping menggeser beban pajak menjadi kenaikan harga, prediksinya, mungkin saja sektor jasa rumah sewa akan menghindari beban harga dan memindahkannya kepada konsumen/masyarakat penyewa. Konsekwensi lainnya adalah sektor jasa swasta mandiri rumah sewa akan bergeser ke wilayah Aceh Besar, yang juga penyangga ibu kota Provinsi Aceh dan Kota Banda Aceh. “Sehingga kebijakan fiskal yang diharapkan masuk APBK Banda Aceh, dapat dipastikan bergeser ke Aceh Besar yang jarak tempuhnya dapat dijangkau dengan mudah,” ujar Taufik.
Dia menyarankan, alangkah lebih bijaksana jika Walikota Banda Aceh menciptakan kreativitas ekonomi baru yang mampu merangsang perekonomian masyarakat dengan mendorong sektor ril, Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), pedagang kaki lima, industri rumah tangga dan lain sebagainya yang mampu meningkatkan pendapatan masyarakat Banda Aceh. “Kebijakan itu sangat tidak populis,” tambahnya.
Upaya lainnya, sebut Taufik, yang rasional dan cerdas adalah dengan cara memberikan pelatihan, motivasi dan ikut menggairahkan perekonomian Kota Banda Aceh, bukan dengan cara mematikan serta menekan ketidakstabilan serta ketidakseimbangan ekonomi Banda Aceh. “Tidak dengan cara mudah seolah-olah akan menguasai pemilik rumah sewa dan rumah singgah di Banda Aceh menjadi ladang pendapatan yang kelihatan empuk untuk diambil kebijakan fiskal, namun beresiko terhadap beban ekonomi dan kehidupan rakyat,” tegasnya.
Alangkah baiknya, sambung Taufik, jika Wali Kota Banda Aceh memiliki kewarasan berfikir dan sehat, tidak sembarangan mengambil kebijakan fiskal untuk penambahan penerimaan kas daerah, tetapi memiliki efek kebijakan (trade off) dapat menciptakan beban berat serta akan menjadikan siklus ekonomi Banda Aceh semakin terganggu, kemudian membuat lesu pertumbuhan ekonomi.
Selanjutnya, efek ataupun dampak yang lebih luas adalah terjadi ketidakseimbangan ekonomi (disequilibrium ecomomics) yang menjadikan aktivitas ekonomi mikro dan makro Kota Banda Aceh tidak akan bergerak signifikan meningkat serta tidak naik sebagaimana yang diharapkan. “Jelas, kebijakan ini tidak pro-rakyat. Sudah tidak mampu menciptakan kreasi dan inovasi ekonomi baru Kota Banda Aceh, jangan sampai membebani rakyat Banda Aceh yang secara analisis ekonomi tidak dalam keadaan baik-baik saja,” sebut Taufik.
Pada bagian akhir pernyataannya, Taufik menghimbau agar wali kota tidak menutup mata dan telinga dalam menerapkan kebijakan. “Jangan hanya mementingkan jabatan serta pendapatan dari kebijakan politik anggaran dengan cara peningkatan fiskal, namun mematikan nurani hanya alasan ekonomi yang tidak logis,” pungkasnya.[]