Opini  

Wamen Rangkap Komisaris Sangat Konyol

Gambar ilustrasi dibuat oleh AI

BEGITU mengejutkan kebijakan yang dibuat Pemerintah Republik. Sebanyak 55 Wakil Menteri Kabinet Merah Putih merangkap tugas sebagai Komisaris Badan Usaha Milik Negera (BUMN).

Bukan hanya konyol, kebijakan itu juga tergolong “Wicked Policies” (jahat). Keputusan yang sama sekali tidak pro-rakyat.

Keputusan Presiden Prabowo Subianti Ini merupakan bentuk pengkhianatan ril di tengah kondisi kehidupan rakyat sedang tidak baik-baik saja. Hal ini sangat bertentangan langsung dengan visi-misi dan janji kampanye politik 2024 yang lalu. Sangat tidak logis.

Kondisi perekonomian nasional yang mengalami defisit anggaran belanja publik ataupun anggaran belanja negara Rp 21 triliun dan atau defisit APBN dapat melebar dari target awal sebesar Rp 616,2 triliun (2,53 persen dari produk domestik bruto/PDB) menjadi Rp 662 triliun (2,78 persen dari PDB).

Selanjutnya jumlah pengangguran (data BPS 7,28 juta), setara dengan dengan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar 4,76%. Dapat dipahami bahwa, meskipun TPT menurun dibandingkan Februari 2024 (4,82%), namun demikian jumlah pengangguran tetap meningkat sebanyak 83 ribu orang.

 IMF juga memprediksi tingkat pengangguran Indonesia akan mencapai 5% pada tahun 2025. Hal ini menunjukkan, bahwa kebijakan ekonomi, efisiensi ekonomi yang selama ini dielu-elukan sama sekali tidak bermakna, sementara itu hasrat politik bagi-bagi jabatan di kalangan pendukung, buzzer, pemuja, penjilat diantara mereka tetap harus didahulukan dibandingkan usaha merubah serta meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Semakin jelas terlihat sifat rakus kekuasaan dan jabatan diantara para elite politik yang tidak memiliki “senses of belonging” terhadap krisis makroekonomi yang demikian serius dan kompleks. Kemudian, sebanyak 30 Wamen aktif memegang jabatan rangkap sebagai komisaris atau komisaris utama pada sejumlah perusahaan BUMN. Sesungguhnya hal ini menjadi perhatian publik, di samping efektivitas kinerja para wamen tersebut dalam melaksanakan tugas perintahan, yang semestinya secara seirus serta fokus bagi usaha melaksanakan kebijakan terhadap kepentingan publik. Dengan demikian terhadap jabatan ganda atau rangkap tersebut dapat dipastikan menjadikan kondisi serta berpotensi sebagai konflik kepentingan elite politik.

Ini jelas-jelas pengkhianatan terhadap rakyat Indonesia sebagai sebuah kebijakan politik yang sama sekali tidak pro-rakyat, dan hanya berfikir sangat picik jangka pendek. Dalam kondisi seperti ini sama sekali tidak mampu memperbaiki makroekonomi dan hanya menjadikan konflik baru serta konflik antar kepentingan elite yang tidak berusaha memahami kondisi psikologis rakyat yang sedang keadaan susah untuk mendapatkan peluang pekerjaan dan mengusik hati rakyat yang semakin “distrusted” kepada pemerintah. Ini terbukti berbagai kebijakan yang semakin “nyeleneh”, tidak menganggap rakyat semagai pemilik kedaulan serta kekuasaan politik tertinggi dalam sistem demokrasi politik.

Dengan demikian kebijakan politik yang merepkan rangkap jabatan elite politik kekuasaan yang selama tidak disenangi oleh rakyat, ternyata saat ini berulang kembali.

Sehingga dapat dinyatakan bahwa ssitem pemerintahan yang hanya menggunakan baju demikrasi semu pada saat pesta demokrasi politik, akhir-akhir ini mengusik kembali perlawan rakyat semakin  tidak percaya dengan pemerintah Indonesia. Kondisi seperti ini dapat dipastikan akan semakin memperkuat pemerintahan yang cenderung korup, tidak bertanggung jawab kepeda rakyat, hanya saja jerlas bahwa rakyat diperlukan pada saat menghendaki suara pada saat pemilihan umum serta menjelang perebutan kursi kekuasaan.

Hal ini membuktikan bahwa, rakyat tidak perlu terlalu percaya dengan  janji-janji politik aktor politik untuk mendapatkan kekuasaan, sementara rakyat mesti paham bahwa, jangan terlalu berharap kepeda para politisi terhadap perubahan serta perbaikan kehidupan yang lebih baik. Para elite politik, hanya memiliki kepentingan politik dan ekonomi diantara mereka semata. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa, negara berada dalam kondisi diambang kehancuran.[]

Dr. Taufik Abd. Rahim adalah akademisi dan pengamat kebijakan publik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *