News  

Ka Leumak, SMA dan SMK di Banda Aceh Tetap Lakukan Pungli Meski Dilarang Gubernur

Gambar ilustrasi dibuat oleh AI

KabarAktual.id – Sejumlah SMA dan SMK di Banda Aceh, ketahuan, masih memungut uang pada Seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB) tahun 2025. Seperti yang sudah-sudah, mereka selalu menggunakan komite sekolah sebagai tameng.

Tindakan sejumlah sekolah yang sudah ketagihan main uang saat SPMB (dulu PPDB) itu, tidak hanya melanggar Permendikbud tapi juga mengangkangi edaran gubernur. Sebab, baru-baru ini, Gubernur Muzakir Manaf atau Mualem telah mengeluarkan larangan gratifikasi/pungutan liar/penyuapan pada proses penerimaan murid baru di SMA, SMK dan SLB se-Aceh.

Menurut informasi yang berhasil dikumpulkan, besaran pungli berkisar antara Rp 2 juta hingga Rp 3 jutaan untuk sekolah-sekolah reguler. Sedangkan kutipan di sekolah negeri berlabel unggulan, bisa mencapai belasan juta.

Pembangkangan sejumlah sekolah membuat Ombudsman RI perwakilan Aceh kesal. Mereka mengancam tidak akan memberikan data clearance bagi instansi yang mengajukan pembangunan Zona Intergritas (ZI).

Sementara kalangan menilai, sikap bandel sejumlah sekolah terjadi akibat mereka merasa ka leumak (ketagihan) kutip uang. Sekolah-sekolah demikian selalu berdalih macam-macam, seperti dana yang tersedia tidak mencukupi, sekolah membuat les sore, membayar guru tambahan, dan lain sebagainya.

Kepala Ombudsman RI Perwakilan Aceh, Dian Rubianty, mengaku banyak menerima laporan dari wali murid terkait pungutan uang masuk SMA dan SMK di Banda Aceh. “Kami sangat prihatin, masih ada sekolah-sekolah yang melakukan praktik pungutan di luar ketentuan saat SPMB berlangsung,” kata Dian dikutip, Selasa (8/7/2025).

Dian mengaku sudah menyampaikan permasalahan ini kepada Kepala Dinas Pendidikan Aceh, Marthunis. Pimpinan instansi ini, kata Dian, berjanji akan memastikan secara langsung bahwa semua SMA/SMK/SLB di bawah binaannya akan mematuhi surat edaran gubernur dan kepala dinas.

Tidak cukup dengan pernyataan lisan, pihak Ombudsman meminta Disdik menunjukkan bukti konkret. “Harus dibuktikan dengan pembatalan pungutan. Yang terlanjur mengutip, harus kembalikan,” tegas Dian Rubianty.

Menurut Dian, modus kutipan di sekolah banyak ragamnya. Ada Komite Sekolah yang membuat dalih kalau pungutan itu dilakukan setelah SPMB.

Dian tidak menerima begitu saja penjelasan tersebut, karena proses SPMB tidak serta merta selesai dengan keluarnya pengumuman hasil seleksi. “Silahkan panitia seleksi dan komite merujuk juknis dan SE,” imbuhnya.

Ombudsman juga menemukan sekolah yang meminta para wali murid menandatangani surat pernyataan tidak keberatan jika seragam disediakan atau difasilitasi. Namun, menurutnya, hal ini tetap saja melanggar ketentuan yang sudah ditetapkan Kemendikdasmen terkait penyelenggaraan SPMB dan aturan terkait kewenangan sekolah dan Komite Sekolah.

Dia menambahkan, pungli di sekolah itu menggunakan mekanisme yang seakan-akan demokratis, diputuskan melalui rapat orangtua murid. Padahal, dalam suasana demikian, selalu tercipta beban psikologis bagi wali murid. “Mana mampu wali murid menolak,” ucap Dian.

Selain itu, sambungnya, juga ada laporan yang masuk dari wali murid terkait pembayaran pungutan dengan uang tunai, tanpa diberikan kwitansi. Pihak sekolah hanya melingkari nama siswa di selembar daftar nama. “Kalau seperti itu, kalau nanti terjadi kekeliruan, jelas pihak orang tua dan murid yang kemudian akan dirugikan,”

Dian meminta pihak terkait tidak tinggal diam melihat praktik pungli yang massif di sekolah-sekolah negeri. “Kita tidak bisa terus membiarkan praktik yang salah dan kemudian menganggapnya lumrah,” tegas Dian.

Perbedaan Harga Seragam

Kepala Ombudsman RI Perwakilan Aceh, Dian Rubianty, juga membeberkan temuan menarik lainnya. Mereka menemukan perbedaan cukup signifikan harga seragam yang disediakan sekolah dengan harga di pasaran.

“Keluhan orang tua berkenaan dengan harga seragam yang memberatkan tentu bertentangan dengan tujuan adanya seragam sekolah, sebagai bentuk kesetaraan sosial dan persatuan,”

“Belum lagi penyeragaman dengan bordir logo sekolah di jilbab, peci dan kaos kaki, yang membuat harga perlengkapan sekolah ini menjadi berlipat harganya dari yang tersedia di pasar,” bebernya.

Dian menjelaskan, pemasalahan pendidikan saat ini adalah kesenjangan akses pada sekolah bermutu, kualitas dan kompetensi guru yang perlu terus ditingkatkan dan sarana-prasarana yang belum memadai. 

Jadi jangan beratkan orang tua dengan bentuk-bentuk atribut yang tidak secara langsung relevan dengan upaya peningkatan mutu pendidikan. “Mohon hal seperti ini yang dipikirkan oleh kepala sekolah dan komite,” tegas Dian.

Zona Integritas

Ombudsman RI Perwakilan Aceh dikatakannya, terus berkoordinasi dengan Pimpinan Ombudsman dan Aparat Penegak Hukum, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). “Ombudsman adalah tim penilai nasional untuk Pembangunan ZI (Zona Intergritas),”

Pimpinan Ombudsman di Pusat, kata dia, sudah mengingatkan tidak boleh memberikan data clearance bagi instansi yang tidak mampu memastikan unit kerja di bawah kewenangannya bersih.

Untuk itu, Ombudsman akan menegakkan nilai-nilai keadilan dan integritas dalam proses PPDBM dan SPMB di Aceh, karena ada laporan masyarakat, dukungan masyarakat lewat media sosial dan rekan-rekan jurnalis. “Bersama, kita membesarkan bijeh Aceh Mulia dengan memastikan pendidikan di Aceh berlangsung tanpa pungli,” tutup Dian.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *