News  

Integritas 13 Kampus Ternama tak Dipercaya, Termasuk Sebuah Universitas Negeri di Sumatra Utara

Ilustrasi hasil penelitian (foto: patrastatistika.com)

KabarAktual.id – Sebuah metodologi pelacakan integritas penelitian terbaru memasukkan sebanyak 13 kampus di Indonesia ke dalam kategori diragukan. Metode terbaru ini salah satunya didasari telaahan atas proporsi jurnal yang ditarik dari publikasi global.

Dilansir dalam laman resminya, penelitian Integrity Risk Index (RI²) adalah metrik gabungan pertama di dunia yang didasarkan pada empiris dan dirancang untuk mengidentifikasi dan membuat profil risiko di tingkat institusi terhadap integritas penelitian.

Dikembangkan oleh Profesor Lokman Meho di American University of Beirut, RI² diciptakan sebagai tanggapan atas kekhawatiran yang berkembang tentang bagaimana pemeringkatan universitas global memberi insentif pada penerbitan berbasis volume dan kutipan dengan mengorbankan integritas ilmiah.

Sistem ini mengevaluasi institusi berdasarkan dua indikator independen dan dapat diverifikasi. Pertama adalah R Rate, yakni jumlah artikel yang ditarik kembali per 1.000 publikasi, yang menunjukkan adanya pelanggaran metodologi, etika, atau kepenulisan yang serius. Metode selanjutnya adalah D Rate, yakni persentase publikasi institusi yang muncul di jurnal yang baru-baru ini dihapus dari Scopus atau Web of Science karena gagal memenuhi standar kualitas atau penerbitan. 

Indikator-indikator ini dinormalisasi dan dirata-ratakan untuk menghasilkan skor 0-1, yang menempatkan masing-masing institusi ke dalam salah satu dari lima tingkatan risiko, merentang dari “Red Flag” untuk resiko tertinggi, hingga “Low Risk” berdasarkan kelompok referensi tetap dari 1.000 universitas yang paling banyak menerbitkan dokumen di seluruh dunia. 

Dengan metode itu, didapati didapati lima kampus Tanah Air masuk kategori “Red Flag”. Kategori ini menandai “anomali ekstrem yang mana menunjukkan resiko integritas sistemik”. Kampus-kampus itu diantaranya satu universitas swasta ternama di Jakarta dan empat universitas negeri masing-masing di Jawa Timur, Sumatra Utara, Sulawesi Selatan, dan Jawa Tengah.

Tiga kampus masuk kategori “High Risk” alias beresiko tinggi yang “menunjukkan deviasi dari norma umum”. Diantaranya ada masing-masing satu universitas negeri di Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur.

Sedangkan lima universitas masuk kategori “Watch List” alias dalam pengawasan terkait integritas penelitian. Yang masuk dalam kategori ini tergolong kampus-kampus negeri terkemuka di Surabaya, Jakarta, Bandung, Bogor, dan Yogyakarta.

Penulis studi, Profesor Lokman Meho, yang berbasis di American University of Beirut di Lebanon, mengatakan bahwa tujuan dari penelitian ini bukan untuk “menuduh institusi tertentu”. Ia bertujuan untuk memicu perbincangan tentang bagaimana sistem peringkat global dapat secara tidak sengaja memberikan insentif pada praktik yang membahayakan integritas penelitian.

“Studi ini mengungkapkan bagaimana permainan metrik penelitian mendistorsi akademisi global, melemahkan integritas penelitian, dan menciptakan persaingan yang tidak seimbang di mana para peneliti dan institusi yang beretika dipaksa untuk bersaing dengan tolok ukur yang dibuat-buat,” kata Meho kepada University World News.

Ia menggambarkan RI² sebagai “alat konservatif dan berlandaskan empiris yang menandai institusi yang menunjukkan risiko integritas struktural berdasarkan tingkat pencabutan dan ketergantungan pada jurnal yang dihapus dari daftar”, bukannya sebagai alat hukuman. Menurutnya indeks ini menawarkan institusi kesempatan untuk mendeteksi risiko integritas sebelum menjadi tanggung jawab reputasi.

“RI² membantu lembaga-lembaga dan pembuat kebijakan mendeteksi dan memantau risiko-risiko tersebut sejak dini, mendorong praktik penelitian dan tolok ukur kelembagaan yang lebih bertanggung jawab dan peka terhadap integritas,” kata Meho.

“RI² membantu mengalihkan fokus dari sekedar volume dan visibilitas ke sinyal struktural risiko etika, menawarkan universitas jalan menuju kinerja akademik yang lebih berkelanjutan dan transparan,” katanya, seraya menambahkan: “Ketergantungan pada data publik yang ada memastikan hal ini dapat diadopsi secara global tanpa perubahan infrastruktur yang mahal.” 

Forum Rektor Indonesia (FRI) merespon hasil laporan Research Integrity Risk Index menyangkut 13 kampus di Indonesia yang riskan melanggar integritas akademik.  Wakil Ketua FRI Prof Didin Muhafidin mempertanyakan keabsahan hasil penelitian itu. Didin meragukan kredibilitas lembaga pembuat laporannya. 

“Lembaga-lembaga survei harus tersertifikasi. Artinya dia terakreditasi, contoh di Indonesia KPU itu hanya akui lembaga survei yang terakreditasi,” kata Didin kepada Republika, Selasa (1/7/2025). 

“Kalau itu nanti badannya jelas tersertifikasi nanti forum rektor bisa komentar,” lanjut Guru Besar dari Universitas Padjajaran itu.  Didin meminta pihak Research Integrity Risk Index menjelaskan maksud penelitiannya. Didin menyebut resiko pelanggaran integritas akademik harus dijelaskan secara gamblang. 

“Pelanggaran integritas akademik itu harus jelas seperti apa. Misalnya banyak karya plagiasi, tingkat kesamaan tinggi. Harus jelas dulu,” ucap Didin.  “Forum rektor mengimbau masyarakat jangan mudah terpengaruh. Karena belum jelas kredibilitas lembaga surveinya,” ucap Didin. 

Didin menyentil penelitian semacam itu bisa saja ditujukan untuk menjatuhkan nama baik perguruan tinggi dalam negeri. Sebab Didin mengamati ada kampus di luar negeri yang kekurangan mahasiswa. 

“Sekarang banyak kampus luar negeri kekurangan mahasiswa, sehingga mereka buat narasi begitu agar percaya kuliah di luar negeri,” ucap Didin. Didin juga menyebut dengan logika yang sama seharusnya Indonesia juga bisa menilai kampus di luar negeri.  “Indonesia juga harusnya bisa dong survei kampus di luar negeri,” ujar Didin.

Sebaliknya, pihak Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) menilai hasil studi Integrity Risk Index bisa menjadi momentum berbenah bagi kampus di Tanah Air. 

Sekjen Kemenristekdikti, Togar Simatupang berharap penelitian itu disikapi dengan perbaikan oleh kampus-kampus yang tercantum. Togar menyadari kampus-kampus di Indonesia masih perlu perbaikan agar semakin maju. 

“Suatu penelitian yang pantas dipahami sebagai gambaran bahan reflektif bahwa integritas akademik universitas di Indonesia masih berada pada tahap balig. Ada banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan agar menjadi akil balig. Paling tidak menuju indeks hijau,” kata Togar kepada Republika, Kamis (3/7/2025). 

Togar menilai hasil penelitian itu dapat menjadi evaluasi kampus. Diantaranya menyangkut peningkatan kualitas dosen dan kredibilitas penelitian. “Kita perlu membenahi kompetensi dosen komponen berpikir kritis, tanggungjawab, berkeadilan (fairness), dan kredibilitas,” ujar Togar. 

Rendahnya kualitas jurnal ilmiah dari Indonesia sempat menjadi sorotan tahun lalu. Kala itu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengakui jumlah publikasi jurnal di Indonesia memang sangat banyak, namun mayoritas masih abal-abal atau tidak berkualitas.

“Beberapa kali kita mendapatkan unggahan di media sosial yang mem-bully kita semua karena publikasi Indonesia meski banyak tapi abal-abal. Jurnalnya tidak jelas, jurnal predator,” kata Plt Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi Kemendikbudristek Nizam di Jakarta, pada awal 2024 seperti dilansir Antara.

Nizam menjelaskan penelitian menjadi bagian penting bagi Tri Dharma Perguruan Tinggi dan merupakan salah satu tugas dosen yang utama selain mengajar. Ia menuturkan jumlah publikasi Indonesia yang diedarkan oleh perguruan tinggi saat ini luar biasa banyaknya, bahkan melejit dibandingkan negara-negara lain terutama di Asia.

Di sisi lain, ia mengatakan kualitas dari publikasi tersebut masih sangat perlu ditingkatkan karena banyak yang tidak memenuhi standar.

Nizam saat itu meminta agar para dosen, mahasiswa, dan peneliti dapat meningkatkan kualitas publikasi ini dengan cara salah satunya adalah memilih dengan hati-hati jurnal yang akan menjadi tempat publikasi. “Makanya sangat penting untuk kita memastikan bahwa jurnal tempat kita publikasi betul-betul berkualitas. Bukan abal-abal dan bukan predator,” ujarnya.

Para dosen, mahasiswa, dan peneliti harus mempublikasikan ke jurnal yang bereputasi baik meskipun untuk bisa lolos dan terbit di jurnal tersebut memang tidak mudah.

Ia mengingatkan hal tersebut harus dilakukan karena akan memberi pengaruh terhadap reputasi perguruan tinggi dan dosen Indonesia di kancah global. “Publikasikan di jurnal yang bereputasi meski tidak mudah tapi ini harus kita lakukan agar reputasi perguruan tinggi dan dosen Indonesia bisa terus kita tingkatkan di kancah global,” kata Nizam.[]

Sumber: Republika

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *